Sigmun
Gig Seeker Pro

Sigmun

Bandung, Indonesia | Established. Jan 01, 2011 | INDIE

Bandung, Indonesia | INDIE
Established on Jan, 2011
Band Rock Blues

Calendar

This band has not uploaded any videos
This band has not uploaded any videos

Music

Press


"[Review] Sigmun - Cerebro"

Seldom do I feel such acute separation anxiety from a new musical acquisition as I do for this release, particularly when it’s an EP from some obscure Stoner jam band in South East Asia. I don’t know that Sigmun would be overjoyed or displeased with being lumped into any particular category, but I will say that this four song EP has all of the hallmarks of the perfect musical accompaniment to anyone’s recreational drug use…

This Indonesian band’s bio says that they were influenced by the likes of Black Sabbath and Led Zeppellin… Duh! I found it humorously redundant that they listed that, since really every single Doom band (in any of its splintered styles) is obviously a direct descendant of one these two, whether they be conscious of it or not.

Call this Freud blues rock! At least, that’s how Sigmun has touted their sound since they were called LOUD. Taking their new name from the father of modern psychoanalysis, one could get a sense of how this moniker would be suitably descriptive from the sound of their heady EP 'Cerebor'. The record’s title (which means ‘Brain’ in Spanish) is as effective at encapsulating its content, describing the very cerebral proceedings that take place on this great effort. The first two cuts on the EP tilt towards a sludgy drone not unlike Earth. In seeming defiance of genre norms, however, Sigmun keeps the track length just under five and a half minutes, disabling the possibility of listener boredom, an often off-putting characteristic of bands of this ilk. The next two tracks are nothing but serene stoniness, even bearing some of the spacy traits that Pink Floyd made their ace in the hole, the guitarists licks and full, sugary tone would not indicate otherwise. The vocals have a drifting, galactic effect to them that adds to the floaty feel of these tracks, particularly groovy during the spoken word intro to “Ring of Saturn”.

I sat back smoking bails of grass to this record and just let it loop over and over and found that each time around was even more enjoyable than the previous, ultimately leaving me wanting more. For Sigmun, that means mission accomplished on this release. I look forward to amassing their recorded output as well as hopefully seeing them come to the states for a little tour, where they can enjoy slightly less draconian drug laws than that of their native soil. - Doom-metal.com


"[Review] Sigmun - Cerebro"

Seldom do I feel such acute separation anxiety from a new musical acquisition as I do for this release, particularly when it’s an EP from some obscure Stoner jam band in South East Asia. I don’t know that Sigmun would be overjoyed or displeased with being lumped into any particular category, but I will say that this four song EP has all of the hallmarks of the perfect musical accompaniment to anyone’s recreational drug use…

This Indonesian band’s bio says that they were influenced by the likes of Black Sabbath and Led Zeppellin… Duh! I found it humorously redundant that they listed that, since really every single Doom band (in any of its splintered styles) is obviously a direct descendant of one these two, whether they be conscious of it or not.

Call this Freud blues rock! At least, that’s how Sigmun has touted their sound since they were called LOUD. Taking their new name from the father of modern psychoanalysis, one could get a sense of how this moniker would be suitably descriptive from the sound of their heady EP 'Cerebor'. The record’s title (which means ‘Brain’ in Spanish) is as effective at encapsulating its content, describing the very cerebral proceedings that take place on this great effort. The first two cuts on the EP tilt towards a sludgy drone not unlike Earth. In seeming defiance of genre norms, however, Sigmun keeps the track length just under five and a half minutes, disabling the possibility of listener boredom, an often off-putting characteristic of bands of this ilk. The next two tracks are nothing but serene stoniness, even bearing some of the spacy traits that Pink Floyd made their ace in the hole, the guitarists licks and full, sugary tone would not indicate otherwise. The vocals have a drifting, galactic effect to them that adds to the floaty feel of these tracks, particularly groovy during the spoken word intro to “Ring of Saturn”.

I sat back smoking bails of grass to this record and just let it loop over and over and found that each time around was even more enjoyable than the previous, ultimately leaving me wanting more. For Sigmun, that means mission accomplished on this release. I look forward to amassing their recorded output as well as hopefully seeing them come to the states for a little tour, where they can enjoy slightly less draconian drug laws than that of their native soil. - Doom-metal.com


"Sigmun – Cerebro EP: Mini Album yang Mengesankan"

Pada Januari 2013, Sigmun merilis Cerebro dan dijual terbatas hanya 40 keping membuat penikmat ben indie lokal semakin penasaran. Siapa yang tidak ingin memiliki fisik dari mini album ini? Tapi, kalian bisa mengunduh di Yes No Wave dan mendengarkannya dalam keadaan fisik yang lelah. Cerebro berisikan 4 lagu penuh candu atmosfir mengawang ala Pink Floyd dan terkadang seperti The Velvet Undergroud. Rekaman psikedelik ini sangat cocok didengarkan oleh para psychonaut akut yang mencari referensi lain dalam mencapai pengalaman transendental.
Lagu pertama berjudul “Cerebro” seakan mengembalikan kejayaan remaja pecandu LSD di Inggris. Layaknya mendengarkan “A Saucerful of Secrets”-nya Pink Floyd pada album yang bertajuk sama, dengan kebisingan yang elegan. Bila kita menyaksikan live “A Saucerful of Secrets” di Pompeii, kita bisa mengartikan bahwa “Cerebro” adalah versi bersahajanya.
Selanjutnya, “The Long Haul” memperdengarkan suara vokal yang berteriak seakan dari kejauhan membuat efek sekarat. Sama seperti take vokal John Lennon di lagu “A Day in the Life” dari album Sgt. Pepper’s dengan nuansa permainan eksplorasi bunyi-bunyian yang dibuat mengawang layaknya pecahan pesan dari galaksi lain. Tidak heran jika selanjutnya tercipta “Ring of Saturn” yang menekankan suara anthropo-machine ala “Fitter Happier” di album OK Computer-nya Radiohead di awal lagu.
“Atom Heart Father” merupakan lagu manis dengan nuansa blues yang dipadu kembali dengan vokal anthropo-machine seperti versi modern lagu “Echoes”-nya Pink Floyd dari album Meddle. Secara keseluruhan, Cerebro telah mengalihkan perhatian sejenak saat kita mendengarkannya dalam durasi 30 menitan. Mini album yang berisikan 4 lagu saja sudah membuat penasaran dan konten di dalamnya sangatlah impresif.

- See more at: http://www.jurnallica.com/writing/review/item/840-sigmun-%E2%80%93-cerebro-ep-mini-album-yang-mengesankan#.UiKgB7Rpvs0 - Jurnallica


"Sigmun – Cerebro EP: Mini Album yang Mengesankan"

Pada Januari 2013, Sigmun merilis Cerebro dan dijual terbatas hanya 40 keping membuat penikmat ben indie lokal semakin penasaran. Siapa yang tidak ingin memiliki fisik dari mini album ini? Tapi, kalian bisa mengunduh di Yes No Wave dan mendengarkannya dalam keadaan fisik yang lelah. Cerebro berisikan 4 lagu penuh candu atmosfir mengawang ala Pink Floyd dan terkadang seperti The Velvet Undergroud. Rekaman psikedelik ini sangat cocok didengarkan oleh para psychonaut akut yang mencari referensi lain dalam mencapai pengalaman transendental.
Lagu pertama berjudul “Cerebro” seakan mengembalikan kejayaan remaja pecandu LSD di Inggris. Layaknya mendengarkan “A Saucerful of Secrets”-nya Pink Floyd pada album yang bertajuk sama, dengan kebisingan yang elegan. Bila kita menyaksikan live “A Saucerful of Secrets” di Pompeii, kita bisa mengartikan bahwa “Cerebro” adalah versi bersahajanya.
Selanjutnya, “The Long Haul” memperdengarkan suara vokal yang berteriak seakan dari kejauhan membuat efek sekarat. Sama seperti take vokal John Lennon di lagu “A Day in the Life” dari album Sgt. Pepper’s dengan nuansa permainan eksplorasi bunyi-bunyian yang dibuat mengawang layaknya pecahan pesan dari galaksi lain. Tidak heran jika selanjutnya tercipta “Ring of Saturn” yang menekankan suara anthropo-machine ala “Fitter Happier” di album OK Computer-nya Radiohead di awal lagu.
“Atom Heart Father” merupakan lagu manis dengan nuansa blues yang dipadu kembali dengan vokal anthropo-machine seperti versi modern lagu “Echoes”-nya Pink Floyd dari album Meddle. Secara keseluruhan, Cerebro telah mengalihkan perhatian sejenak saat kita mendengarkannya dalam durasi 30 menitan. Mini album yang berisikan 4 lagu saja sudah membuat penasaran dan konten di dalamnya sangatlah impresif.

- See more at: http://www.jurnallica.com/writing/review/item/840-sigmun-%E2%80%93-cerebro-ep-mini-album-yang-mengesankan#.UiKgB7Rpvs0 - Jurnallica


"Sigmun - Cerebro"

Sigmun – Cerebro

Dalam kurun waktu enam jam saja, EP Cerebro dari Sigmun yang dirilis oleh The Bronze Medal Records (label rekaman independen lokal) sudah terjual habis tanpa sisa. Namun hal itu tak menjadi persoalan untuk kalian yang belum mendapatkan rilisan digitalnya. Sebuah netlabel termahsyur di Yogyakarta, yaitu Yes No Wave Music, merilis ulang EP tersebut yang dapat kalian unduh di link berikut.

Track pertama mereka yang bertajuk “Cerebro” ini, mulai bereksplorasi dengan sound drone yang merambat layaknya suara gitar Stephen O’Malley. Ketukan drum yang statis tanpa sedikit pun tanda-tanda suara dari sang vokalis dapat membius kuping para penikmat musik ini selama lima menit kedepan. - The Tiger Cult


"Sigmun - Cerebro"

Sigmun – Cerebro

Dalam kurun waktu enam jam saja, EP Cerebro dari Sigmun yang dirilis oleh The Bronze Medal Records (label rekaman independen lokal) sudah terjual habis tanpa sisa. Namun hal itu tak menjadi persoalan untuk kalian yang belum mendapatkan rilisan digitalnya. Sebuah netlabel termahsyur di Yogyakarta, yaitu Yes No Wave Music, merilis ulang EP tersebut yang dapat kalian unduh di link berikut.

Track pertama mereka yang bertajuk “Cerebro” ini, mulai bereksplorasi dengan sound drone yang merambat layaknya suara gitar Stephen O’Malley. Ketukan drum yang statis tanpa sedikit pun tanda-tanda suara dari sang vokalis dapat membius kuping para penikmat musik ini selama lima menit kedepan. - The Tiger Cult


"Best Local Rock/Metal Act 2012"

Perhatian saya untuk tahun ini agaknya tersita penuh kepada band lokal. Entah kenapa banyak rilisan luar negeri tidak begitu menarik bagi saya akhir-akhir ini. Tahun ini saya katakan dengan sejujurnya bahwa saya cukup terkesima dengan kemunculan aksi-aksi band tanah air. Jika dibuat grafik kualitas, saya percaya bahwa data statistik itu menunjukkan kurva naik. Beragam style dan sound banyak bermunculan. Salah satunya adalah doom/stoner/psych yang dalam dua dekade terakhir ini menguasai telinga pecandu musik dunia.

Dan jika daftar ini memuat beberapa band beraliran tersebut, hal itu dikarenakan selera personal dan juga berdasarkan banyaknya perbincangan di dunia maya tentang sepak terjang band-band muda tersebut. Dari situlah daftar ini disusun. Musik memang tak akan pernah mandeg dan menjadi paripurna, dan paling tidak catatan kecil ini mampu menjadi teman pengingat untuk beberapa tahun ke depan. Semoga. Let there be doom...

Haul – Rima Penghitam Cakrawala

Sejenak judul EP milik band Bandung ini sedikit banyak mengingatkan saya dengan judul split EP milik dua punggawa scene musik Bandung Balcony dan Homicide, "Hymne Penghitam Langit dan Prosa Tanpa Tuhan." Awalnya saya pesimis dan mengira bahwa mereka hanyalah sekadar pengulangan dari tradisi hardcore/metal. Namun dugaan saya jauh dari benar (never try that at home). Saya telan lagi rasa pesimistis itu dan menggantinya dengan optimisme yang berbinar.

Beberapa waktu sebelum mereka bermain di Yogjakarta dalam rangkaian tur Touche Amore, saya menyempatkan diri untuk mendengarkan beberapa materi mereka. Dan yang bisa saya katakan hanya “Holy Madre Mia, this is the real shit!”. Terlebih lagi ketika saya menyaksikan mereka secara live. Saya katakan mereka tahu yang mereka mainkan dan tak hanya bermain untuk sekadar ikut-ikutan meramaikan suasana. Mereka mampu mengatur sound yang representatif untuk genre yang mereka mainkan. Tak asal bising. Tak asal ngebut. Dengan sound bass menggelegar yang dijamin meruntuhkan dinding hati anda yang lemah.

Sigmun – Cerebro EP

Benar nama mereka memang terinspirasi dari psikoanalis paling terkemuka di dunia Sigmund Freud. Namun Sigmun yang satu ini lebih seperti mimpi basah bagi Freud. Ehm, maksud saya Sigmun lebih berupa pelepasan agresi dari Ego di alam bawah sadar. Secara tidak kita sadari –jika mengikuti konsep Freudian– Id dan Ego kita selalu mengalami tekanan akibat internalisasi norma. Dan dengan musik dari Sigmun, represi tersebut bisa disalurkan dengan pelan dan sehat sehingga agresi yang dikeluarkan bersifat positif hingga mencapai orgasme kosmik.

OK, cukup dengan omong kosong soal Freud. Sigmun makin mencuri perhatian ketika musik mereka dipakai sebagai lagu di film The Raid. Mereka memang cukup beruntung. Tapi keberuntungan saja tidak cukup, skill dan insting musikal lah yang membuat mereka cukup layak dihormati. Di Cerebro EP –yang dirilis dalam dua format fisik dan digital– Sigmun seperti memainkan emosi pendengar dengan cerdas. Empat buah lagu di dalamnya terasa seperti sebuah perjalanan di alam bawah sadar manusia. Ring of Saturn-lah juara di EP ini.

Komunal – Gemuruh Musik Pertiwi

Komunal kini menjadi salah satu band rock terbesar di negeri ini setelah Roxx gagal memberikan comeback yang kolosal dan Jamrud turun tahta dengan kurang epik. Namanya menjadi headliner di ajang musik bergengsi dan fan-base nya kini tersebar di seluruh Indonesia. Komunal seperti menjadi ikon sebuah perlawanan dari sayap kiri lapangan yang menusuk ke jantung pertahanan musik Indonesia yang sudah bobrok, tua dan penyakitan. Nuff said.

SSSLOTHHH – Infinite Fracture EP

Awalnya nama mereka hanya SLOTH, kemudian berubah dengan penambahan konsonan SSS dan HHH yang seperti menggambarkan sesuatu yang lebih berat, 1000 kali lebih malas dan 1000 kali lebih lamban. "Infinite Fracture" EP berisi tiga track yang dipenuhi lumpur kental dan cocok untuk soundtrack film Swamp Thing. Deep, Far and Beyond, track terakhir dalam EP ini adalah favorit saya, dengan penggabungan langgam atmosferik dan kekotoran sludge. Sloth memang salah satu dari tujuh dosa besar, tapi mendengarkan SSSLOTHHH tak akan menambah timbangan dosa anda menjadi lebih berat.

MATIASU – Hallucination/After Dark Demo

Tidak perlu menambah personel band untuk memainkan musik jika dua orang saja sudah cukup mengkover segala kebutuhan sound. Lebih efisien, efektif dan ekonomis. Matiasu contohnya. Meski baru merilis dua demo track (EP mereka akan dirilis tahun depan), kekuatan mereka sudah menonjol bagai berlian mentah yang menunggu diasah. Klasik doom dengan sentuhan pattern naik turun a la Bongripper. - Jakarta Beat


"Best Local Rock/Metal Act 2012"

Perhatian saya untuk tahun ini agaknya tersita penuh kepada band lokal. Entah kenapa banyak rilisan luar negeri tidak begitu menarik bagi saya akhir-akhir ini. Tahun ini saya katakan dengan sejujurnya bahwa saya cukup terkesima dengan kemunculan aksi-aksi band tanah air. Jika dibuat grafik kualitas, saya percaya bahwa data statistik itu menunjukkan kurva naik. Beragam style dan sound banyak bermunculan. Salah satunya adalah doom/stoner/psych yang dalam dua dekade terakhir ini menguasai telinga pecandu musik dunia.

Dan jika daftar ini memuat beberapa band beraliran tersebut, hal itu dikarenakan selera personal dan juga berdasarkan banyaknya perbincangan di dunia maya tentang sepak terjang band-band muda tersebut. Dari situlah daftar ini disusun. Musik memang tak akan pernah mandeg dan menjadi paripurna, dan paling tidak catatan kecil ini mampu menjadi teman pengingat untuk beberapa tahun ke depan. Semoga. Let there be doom...

Haul – Rima Penghitam Cakrawala

Sejenak judul EP milik band Bandung ini sedikit banyak mengingatkan saya dengan judul split EP milik dua punggawa scene musik Bandung Balcony dan Homicide, "Hymne Penghitam Langit dan Prosa Tanpa Tuhan." Awalnya saya pesimis dan mengira bahwa mereka hanyalah sekadar pengulangan dari tradisi hardcore/metal. Namun dugaan saya jauh dari benar (never try that at home). Saya telan lagi rasa pesimistis itu dan menggantinya dengan optimisme yang berbinar.

Beberapa waktu sebelum mereka bermain di Yogjakarta dalam rangkaian tur Touche Amore, saya menyempatkan diri untuk mendengarkan beberapa materi mereka. Dan yang bisa saya katakan hanya “Holy Madre Mia, this is the real shit!”. Terlebih lagi ketika saya menyaksikan mereka secara live. Saya katakan mereka tahu yang mereka mainkan dan tak hanya bermain untuk sekadar ikut-ikutan meramaikan suasana. Mereka mampu mengatur sound yang representatif untuk genre yang mereka mainkan. Tak asal bising. Tak asal ngebut. Dengan sound bass menggelegar yang dijamin meruntuhkan dinding hati anda yang lemah.

Sigmun – Cerebro EP

Benar nama mereka memang terinspirasi dari psikoanalis paling terkemuka di dunia Sigmund Freud. Namun Sigmun yang satu ini lebih seperti mimpi basah bagi Freud. Ehm, maksud saya Sigmun lebih berupa pelepasan agresi dari Ego di alam bawah sadar. Secara tidak kita sadari –jika mengikuti konsep Freudian– Id dan Ego kita selalu mengalami tekanan akibat internalisasi norma. Dan dengan musik dari Sigmun, represi tersebut bisa disalurkan dengan pelan dan sehat sehingga agresi yang dikeluarkan bersifat positif hingga mencapai orgasme kosmik.

OK, cukup dengan omong kosong soal Freud. Sigmun makin mencuri perhatian ketika musik mereka dipakai sebagai lagu di film The Raid. Mereka memang cukup beruntung. Tapi keberuntungan saja tidak cukup, skill dan insting musikal lah yang membuat mereka cukup layak dihormati. Di Cerebro EP –yang dirilis dalam dua format fisik dan digital– Sigmun seperti memainkan emosi pendengar dengan cerdas. Empat buah lagu di dalamnya terasa seperti sebuah perjalanan di alam bawah sadar manusia. Ring of Saturn-lah juara di EP ini.

Komunal – Gemuruh Musik Pertiwi

Komunal kini menjadi salah satu band rock terbesar di negeri ini setelah Roxx gagal memberikan comeback yang kolosal dan Jamrud turun tahta dengan kurang epik. Namanya menjadi headliner di ajang musik bergengsi dan fan-base nya kini tersebar di seluruh Indonesia. Komunal seperti menjadi ikon sebuah perlawanan dari sayap kiri lapangan yang menusuk ke jantung pertahanan musik Indonesia yang sudah bobrok, tua dan penyakitan. Nuff said.

SSSLOTHHH – Infinite Fracture EP

Awalnya nama mereka hanya SLOTH, kemudian berubah dengan penambahan konsonan SSS dan HHH yang seperti menggambarkan sesuatu yang lebih berat, 1000 kali lebih malas dan 1000 kali lebih lamban. "Infinite Fracture" EP berisi tiga track yang dipenuhi lumpur kental dan cocok untuk soundtrack film Swamp Thing. Deep, Far and Beyond, track terakhir dalam EP ini adalah favorit saya, dengan penggabungan langgam atmosferik dan kekotoran sludge. Sloth memang salah satu dari tujuh dosa besar, tapi mendengarkan SSSLOTHHH tak akan menambah timbangan dosa anda menjadi lebih berat.

MATIASU – Hallucination/After Dark Demo

Tidak perlu menambah personel band untuk memainkan musik jika dua orang saja sudah cukup mengkover segala kebutuhan sound. Lebih efisien, efektif dan ekonomis. Matiasu contohnya. Meski baru merilis dua demo track (EP mereka akan dirilis tahun depan), kekuatan mereka sudah menonjol bagai berlian mentah yang menunggu diasah. Klasik doom dengan sentuhan pattern naik turun a la Bongripper. - Jakarta Beat


"Sigmun - interview"

Seiring dengan meledaknya film The Raid, adalah salah satu band pengisi soundtrack mereka yang juga meledak dan mulai ramai dibicarakan khalayak sekitar. Sigmun. Band yang kental dengan aroma rock asal Bandung ini akan menuturkan jawaban-jawaban lugas kepada Houtskools. Sempat mencuat pula beberapa bulan lalu rencana Sigmun untuk mencicipi panggung di Kanada, namun kabar tersebut hilang terbawa angin. Apa yang sebenarnya terjadi ? Sigmun akan menjawabnya disini. Yang jelas, Sigmun adalah satu band yang seru untuk diajak ngobrol.

Bagi yang penasaran untuk hasil interview kami dengan Sigmun, ini diperuntukkan untuk kalian.

1. Pertama, kalian sudah menyelesaikan sebuat split berbahaya bersama Suri dan Jelaga. Awalnya ide dari siapa sih dan bagaimana prosesnya sampai ketiga band ini masuk studio bersama ?
Haikal : Ide awalnya dari pihak Orange Cliff Records. mereka mau mencoba merilis vinyl tapi kalau first release cuma satu band mungkin kurang menggigit akhirnya langsung rilis split tiga band saja biar lebih keji. Sebenernya ga masuk studio bersama sih, kami rekaman dengan metode masing-masing di tempat masing-masing, ketiga band bisa terkumpul karena kami saling mencintai satu sama lain.
Tama : all hail Tebing Oranye!

2. Split kalian dicetak kedalam format vinyl/piringan hitam, apa untuk album kalian nanti juga berencana untuk dirilis format vinyl ?
Tama : Kalau teknologinya sudah ada, dan sudah cukup terjangkau secara biaya dan ongkos produksi, kami bahkan berencana untuk merilis album kami dalam format “Encrypted Holographic Visual Environment Script” yang mungkin bisa memunculkan pengalaman baru didalam menikmati karya-karya kami kedepannya.
Haikal : Itu sudah masuk rencana kami sih tapi masih banyak pertimbangan juga dari sisi teknis dan finansial, untuk semetara mungkin kalau album formatnya bakal cd dulu nanti kalau sudah memadai baru kita rilis vinylnya.

3. Kita masih ingat beberapa bulan lagu, seiring dengan meledaknya film The Raid, popularitas Sigmun pun juga lumayan terangkat. Kalian dipercaya untuk mengisi soundtracknya. Pertanyaannya adalah, kenapa kalian berani mengambil proyek kerja sama dengan The Raid ini ? Apa kalian menganggap cerita film The Raid sesuai dengan tema lagu-lagu dari Sigmun atau ada alasan lain ?
Tama : Biar bisa nonton gala premier gratis.
Haikal : Karena Yayan “Mad Dog” Ruhian adalah panutan kami dalam menjalani hidup.

4. Bagaimana tanggapan Sigmun sendiri ketika ada beberapa anggapan miring yang menyatakan bahwa “Sigmun hanya numpang tenar lewat film The Raid” ?
Tama : Loh emang bener kan? Suruh siapa dengerin Sigmun
Haikal : Gak masalah si dibilang numpang tenar, kalau ada kesempatan bagus dan terhormat tapi malah kita tolak itu justru bodoh kan.
Jono : Alhamdulillah ya bisa ‘numpang’ tenar lewat film bioskop, barokah. Daripada numpang tenar lewat youtube atau social media lainnya ya kan. Lame.
Mirfak : Kesempatan gak datang 2 kali, daripada menyesal belakangan.

5. Kita balik lagi soal materi Sigmun. Penasaran nih, kenapa untuk EP Cerebro rilisan The Bronze Medal Records hanya dibuat 30 buah ? Itu dinilai cukup sedikit untuk band yang sedang dicari seperti Sigmun saat ini. Dengan hanya mencetak sedikit, bukankah terkesan menyulitkan para penggemar untuk bisa menyimak musik kalian ? Kesan tersebut muncul terlepas dari sisi “limited edition” yang memang memiliki nilai tersendiri
Tama : Kalo saya sih nangkepnya: EP Cerebro kan disertai cukilan karya seni grafis bermaterial kayu yang dibuat secara handmade.. nyukil kayu sendirian (lulusan seni grafis saat ini hanyalah bapak haikal seorang) saya jamin sih udah pegal2 bukan kepalang. kalo saya yg nyukil sendiri sih, satu aja belum tentu beres kayanya. Tapi kalo diijinin sih.. nanti ada link downloadnya kok, bukan begitu pak Anindito?
Haikal : Sebenarnya 30 buah itu kebijakan dari The Bronze Medal Records karena memang mau jadi rilisan yang limited banget, toh lagu-lagunya juga lagu-lagu D-Side home recording seadanya.hahaha. tapi seperti kata tama nanti juga pasti link downloadnya bakal keluar.

6. Oh iya, cerita-cerita tentang pengalaman waktu manggung di Canadian Music Fest pada bulan Maret kemarin dong. Bagaimana tanggapan crowd luar dengan musik kalian ?
Tama : Ga jadi berangkat, sayanya sibuk liburan.
Anindito : Finansial haha

7. Apa kendala yang terberat ketika hendak tampil diluar negeri ?
Tama : Ah situ pura-pura gak tau haha

8. Di luar negeri sendiri, musik-musik yang dikatakan sebagai “Sons of Sabbath” memang sedang bangkit lagi beberapa tahun terakhir ini. Kita bisa lihat semenjak kemunculan Graveyard, mulai banyak bermunculan band seperti Ghost, Blood Ceremony, Orchid, Serpent Venom, sampai Windhand. Sigmun sendiri mengaku terinspirasi cukup besar oleh Black Sabbath (memang sepertinya tidak ada band rock/metal yang tidak terinspirasi oleh Black Sabbath, hehehe) melihat perkembangan ini lalu mencoba membawanya ke di Indonesia kah ?
Haikal : Sepertinya - Houtskools Webzine


"Sigmun - interview"

Seiring dengan meledaknya film The Raid, adalah salah satu band pengisi soundtrack mereka yang juga meledak dan mulai ramai dibicarakan khalayak sekitar. Sigmun. Band yang kental dengan aroma rock asal Bandung ini akan menuturkan jawaban-jawaban lugas kepada Houtskools. Sempat mencuat pula beberapa bulan lalu rencana Sigmun untuk mencicipi panggung di Kanada, namun kabar tersebut hilang terbawa angin. Apa yang sebenarnya terjadi ? Sigmun akan menjawabnya disini. Yang jelas, Sigmun adalah satu band yang seru untuk diajak ngobrol.

Bagi yang penasaran untuk hasil interview kami dengan Sigmun, ini diperuntukkan untuk kalian.

1. Pertama, kalian sudah menyelesaikan sebuat split berbahaya bersama Suri dan Jelaga. Awalnya ide dari siapa sih dan bagaimana prosesnya sampai ketiga band ini masuk studio bersama ?
Haikal : Ide awalnya dari pihak Orange Cliff Records. mereka mau mencoba merilis vinyl tapi kalau first release cuma satu band mungkin kurang menggigit akhirnya langsung rilis split tiga band saja biar lebih keji. Sebenernya ga masuk studio bersama sih, kami rekaman dengan metode masing-masing di tempat masing-masing, ketiga band bisa terkumpul karena kami saling mencintai satu sama lain.
Tama : all hail Tebing Oranye!

2. Split kalian dicetak kedalam format vinyl/piringan hitam, apa untuk album kalian nanti juga berencana untuk dirilis format vinyl ?
Tama : Kalau teknologinya sudah ada, dan sudah cukup terjangkau secara biaya dan ongkos produksi, kami bahkan berencana untuk merilis album kami dalam format “Encrypted Holographic Visual Environment Script” yang mungkin bisa memunculkan pengalaman baru didalam menikmati karya-karya kami kedepannya.
Haikal : Itu sudah masuk rencana kami sih tapi masih banyak pertimbangan juga dari sisi teknis dan finansial, untuk semetara mungkin kalau album formatnya bakal cd dulu nanti kalau sudah memadai baru kita rilis vinylnya.

3. Kita masih ingat beberapa bulan lagu, seiring dengan meledaknya film The Raid, popularitas Sigmun pun juga lumayan terangkat. Kalian dipercaya untuk mengisi soundtracknya. Pertanyaannya adalah, kenapa kalian berani mengambil proyek kerja sama dengan The Raid ini ? Apa kalian menganggap cerita film The Raid sesuai dengan tema lagu-lagu dari Sigmun atau ada alasan lain ?
Tama : Biar bisa nonton gala premier gratis.
Haikal : Karena Yayan “Mad Dog” Ruhian adalah panutan kami dalam menjalani hidup.

4. Bagaimana tanggapan Sigmun sendiri ketika ada beberapa anggapan miring yang menyatakan bahwa “Sigmun hanya numpang tenar lewat film The Raid” ?
Tama : Loh emang bener kan? Suruh siapa dengerin Sigmun
Haikal : Gak masalah si dibilang numpang tenar, kalau ada kesempatan bagus dan terhormat tapi malah kita tolak itu justru bodoh kan.
Jono : Alhamdulillah ya bisa ‘numpang’ tenar lewat film bioskop, barokah. Daripada numpang tenar lewat youtube atau social media lainnya ya kan. Lame.
Mirfak : Kesempatan gak datang 2 kali, daripada menyesal belakangan.

5. Kita balik lagi soal materi Sigmun. Penasaran nih, kenapa untuk EP Cerebro rilisan The Bronze Medal Records hanya dibuat 30 buah ? Itu dinilai cukup sedikit untuk band yang sedang dicari seperti Sigmun saat ini. Dengan hanya mencetak sedikit, bukankah terkesan menyulitkan para penggemar untuk bisa menyimak musik kalian ? Kesan tersebut muncul terlepas dari sisi “limited edition” yang memang memiliki nilai tersendiri
Tama : Kalo saya sih nangkepnya: EP Cerebro kan disertai cukilan karya seni grafis bermaterial kayu yang dibuat secara handmade.. nyukil kayu sendirian (lulusan seni grafis saat ini hanyalah bapak haikal seorang) saya jamin sih udah pegal2 bukan kepalang. kalo saya yg nyukil sendiri sih, satu aja belum tentu beres kayanya. Tapi kalo diijinin sih.. nanti ada link downloadnya kok, bukan begitu pak Anindito?
Haikal : Sebenarnya 30 buah itu kebijakan dari The Bronze Medal Records karena memang mau jadi rilisan yang limited banget, toh lagu-lagunya juga lagu-lagu D-Side home recording seadanya.hahaha. tapi seperti kata tama nanti juga pasti link downloadnya bakal keluar.

6. Oh iya, cerita-cerita tentang pengalaman waktu manggung di Canadian Music Fest pada bulan Maret kemarin dong. Bagaimana tanggapan crowd luar dengan musik kalian ?
Tama : Ga jadi berangkat, sayanya sibuk liburan.
Anindito : Finansial haha

7. Apa kendala yang terberat ketika hendak tampil diluar negeri ?
Tama : Ah situ pura-pura gak tau haha

8. Di luar negeri sendiri, musik-musik yang dikatakan sebagai “Sons of Sabbath” memang sedang bangkit lagi beberapa tahun terakhir ini. Kita bisa lihat semenjak kemunculan Graveyard, mulai banyak bermunculan band seperti Ghost, Blood Ceremony, Orchid, Serpent Venom, sampai Windhand. Sigmun sendiri mengaku terinspirasi cukup besar oleh Black Sabbath (memang sepertinya tidak ada band rock/metal yang tidak terinspirasi oleh Black Sabbath, hehehe) melihat perkembangan ini lalu mencoba membawanya ke di Indonesia kah ?
Haikal : Sepertinya - Houtskools Webzine


"Sigmun: Pasti Ada ‘Freudian Slip’ di Musik dan Lirik Kami"

Sigmun. Kuartet musik rock asal Bandung ini baru saja merilis mini album pertamanya, Cerebro. The Bronze Medal Records selaku label yang menaungi mini album tersebut hanya merilis 40 keping. Secara cepat dan kurang dari enam jam, Cerebro ludes dipesan melalui surat elektronik.

Cerebro berisi empat lagu: “Cerebro”, “The Long Haul”, “Ring of Saturn”, dan “Atom Heart Father”.

Sejak kemunculannya, Sigmun seakan memberi pemandangan baru untuk menikmati musik rock di Bandung ataupun beberapa kota lainnya. Nafas segar yang ditampilkan membawa Sigmun mengisi soundtrack untuk film laga The Raid. Bersama Suri dan Jelaga, Sigmun merangkai album bersama dalam bentuk piringan hitam yang dinisiasi Orange Cliff Records.

Melalui surat elektronik kami melemparkan beberapa pertanyaan mengenai keterkaitan mereka dengan Sigmun Freud, mini album Cerebro, dan perilisan split album di Bukit Moko Bandung.

Haikal Azizi (vokal dan gitar), Mirfak Prabowo (bas), Pratama Kusuma Putra (drum), dan Nurrachman Andika (gitar) merespon secara santai dan singkat pertanyaan kami. Berikut wawancaranya.


Seberapa dekat musik Sigmun dengan si pencipta teori psikoanalisis?

Haikal: Kami tidak menganut psikoanalisis secara relijius. Tapi, saya percaya bahwa sesadar apapun, kami berusaha membuat atau merancang gagasan dan wacana dalam musik dan lirik kami, pada akhirnya pasti ada freudian slip. Ada secuil alam bawah sadar kami masuk tanpa disadari. Saya rasa pencipataan musik yang seperti apapun, apabila memang dikerjakan oleh manusia, pastilah beririsan dengan alam bawah sadar penciptanya.


Pengaruh musik datang dari mana saja?

Tama: Dari semilir angin berhembus dan keheningan malam. Kami sangat terbuka soal pengaruh bermusik. Bisa datang dari mana saja.

Haikal: Tidak hanya mencari inspirasi dari konteks ranah musik saja. Seni rupa, literatur, ritual agama dan perjalanan antar kota.


Mengapa Sigmun terlebih dahulu merilis split album ketimbang album sendiri?

Mirfak: Karena perubahan jadwal yang diluar kontrol kami sendiri.

Haikal: Disatu sisi kami berusaha membangun momentum terlebih dahulu. Disisi lain album kami memang belum siap dirilis. Terlepas dari semuanya, materi udah ada sejak 2012. Cuma kami saja yang terlalu kritis sehingga mengundur lagi

Tama: Kami juga sibuk kuliah dan sedang menyiapkan sidang akhir.


The Bronze Medal Records merilis mini album Cerebro. Apakah sebelumnya ada label yang menawarkan kalian merilis album?

Tama: Untuk konteks album penuh, belum ada.


Angka 40 menjadi jumlah rilisan fisik kalian. Mengapa?

Haikal: Tidak ada alasan tertentu.

Mirfak: Menyesuaikan dengan jumlah yang diminta dari The Bronze Medal Records.


Siapa sebenarnya yang merencanakan dataran tinggi di Bandung yaitu Bukit Moko sebagai tempat perilisan split album berbentuk piringan hitam bersama Suri dan Jelaga? Mengapa?

Haikal: Sebenarnya sudah sejak lama kami memimpikan untuk bisa bikin acara dan main di Bukit Moko. Kebetulan saat rilis split album kemarin, perihal showcase-nya diserahkan penuh kepada kami. Langsung sikat.

Tama: Kami sudah bosan dengan udara Bandung yang mulai gerah.


Berapa lama Sigmun mempersiapkan mini album Cerebro?

Haikal: Kurang dari sebulan, mungkin.

Mirfak: Semalam.

Tama: Sekali kedip beres. Haha.


Dua diantara empat lagu di mini album ini sudah pernah dirilis sebelumnya, “Ring of Saturn”yang kalian lepas dengan bebas unduh dan “The Long Haul” ada pada split album bersama Suri dan Jelaga. Mengapa tidak menyertakan rilisan yang sudah kalian buat sebelumnya seperti “Bones”, “Land of the Living Dead”, “Red Blood Sea”, dan “Valley of Dream”?

Tama: Sebenarnya EP Cerebro direncanakan rilis tahun kemarin. Karena kelamaan, akhirnya kami keluarkan satu lagu dulu. “Ring of Saturn” dirilis menggunakan metode tesis salah satu teman saya yang akan menyelesaikan studi pasca sarjananya. Jadi, dirilis dan sekalian membantu teman. “The Long Haul” yang ini merupakan versi beta dan direkam dengan perangkat terbatas, cukup berbeda dari “The Long Haul” yang dirilis di piringan hitam three way split.

Mirfak: Empat lagu yg disebutkan terakir tidak untuk rilisan kecil. Kita lihat saja di waktu yang tepat.


Haikal Azizi membuat proyek solo bernama Bin Idris. Bagusnya, musik yang ditampilkan berbeda dengan Sigmun. Apa itu bagian dari iseng belaka mengisi waktu ketika tidak bersama Sigmun atau memang sudah pernah dipersiapkan sebelumnya?

Tama: Berhubung Haikal lulus kuliah duluan, jadi sangat dimaklumkan sekali kalau beliau yang duluan menjadi pengangguran. Maka lahirlah Bin Idris.

Haikal: Haha. Tapi Bin Idris sebenarnya sudah ada bahkan sebelum Sigmun muncul. Sama sekali bukan iseng belaka. Masing-masing dari kami memang punya proyek selain Sigmun. Tama punya Them On Yet, Nurachman/Jono punya Mumayat, Mirfak sendiri punya proyek sampingan Tangeru Acid Disco Experience.


Dengan makin bertambahnya penikmat musik memperhatikan S - Gigsplay.com


"Sigmun: Pasti Ada ‘Freudian Slip’ di Musik dan Lirik Kami"

Sigmun. Kuartet musik rock asal Bandung ini baru saja merilis mini album pertamanya, Cerebro. The Bronze Medal Records selaku label yang menaungi mini album tersebut hanya merilis 40 keping. Secara cepat dan kurang dari enam jam, Cerebro ludes dipesan melalui surat elektronik.

Cerebro berisi empat lagu: “Cerebro”, “The Long Haul”, “Ring of Saturn”, dan “Atom Heart Father”.

Sejak kemunculannya, Sigmun seakan memberi pemandangan baru untuk menikmati musik rock di Bandung ataupun beberapa kota lainnya. Nafas segar yang ditampilkan membawa Sigmun mengisi soundtrack untuk film laga The Raid. Bersama Suri dan Jelaga, Sigmun merangkai album bersama dalam bentuk piringan hitam yang dinisiasi Orange Cliff Records.

Melalui surat elektronik kami melemparkan beberapa pertanyaan mengenai keterkaitan mereka dengan Sigmun Freud, mini album Cerebro, dan perilisan split album di Bukit Moko Bandung.

Haikal Azizi (vokal dan gitar), Mirfak Prabowo (bas), Pratama Kusuma Putra (drum), dan Nurrachman Andika (gitar) merespon secara santai dan singkat pertanyaan kami. Berikut wawancaranya.


Seberapa dekat musik Sigmun dengan si pencipta teori psikoanalisis?

Haikal: Kami tidak menganut psikoanalisis secara relijius. Tapi, saya percaya bahwa sesadar apapun, kami berusaha membuat atau merancang gagasan dan wacana dalam musik dan lirik kami, pada akhirnya pasti ada freudian slip. Ada secuil alam bawah sadar kami masuk tanpa disadari. Saya rasa pencipataan musik yang seperti apapun, apabila memang dikerjakan oleh manusia, pastilah beririsan dengan alam bawah sadar penciptanya.


Pengaruh musik datang dari mana saja?

Tama: Dari semilir angin berhembus dan keheningan malam. Kami sangat terbuka soal pengaruh bermusik. Bisa datang dari mana saja.

Haikal: Tidak hanya mencari inspirasi dari konteks ranah musik saja. Seni rupa, literatur, ritual agama dan perjalanan antar kota.


Mengapa Sigmun terlebih dahulu merilis split album ketimbang album sendiri?

Mirfak: Karena perubahan jadwal yang diluar kontrol kami sendiri.

Haikal: Disatu sisi kami berusaha membangun momentum terlebih dahulu. Disisi lain album kami memang belum siap dirilis. Terlepas dari semuanya, materi udah ada sejak 2012. Cuma kami saja yang terlalu kritis sehingga mengundur lagi

Tama: Kami juga sibuk kuliah dan sedang menyiapkan sidang akhir.


The Bronze Medal Records merilis mini album Cerebro. Apakah sebelumnya ada label yang menawarkan kalian merilis album?

Tama: Untuk konteks album penuh, belum ada.


Angka 40 menjadi jumlah rilisan fisik kalian. Mengapa?

Haikal: Tidak ada alasan tertentu.

Mirfak: Menyesuaikan dengan jumlah yang diminta dari The Bronze Medal Records.


Siapa sebenarnya yang merencanakan dataran tinggi di Bandung yaitu Bukit Moko sebagai tempat perilisan split album berbentuk piringan hitam bersama Suri dan Jelaga? Mengapa?

Haikal: Sebenarnya sudah sejak lama kami memimpikan untuk bisa bikin acara dan main di Bukit Moko. Kebetulan saat rilis split album kemarin, perihal showcase-nya diserahkan penuh kepada kami. Langsung sikat.

Tama: Kami sudah bosan dengan udara Bandung yang mulai gerah.


Berapa lama Sigmun mempersiapkan mini album Cerebro?

Haikal: Kurang dari sebulan, mungkin.

Mirfak: Semalam.

Tama: Sekali kedip beres. Haha.


Dua diantara empat lagu di mini album ini sudah pernah dirilis sebelumnya, “Ring of Saturn”yang kalian lepas dengan bebas unduh dan “The Long Haul” ada pada split album bersama Suri dan Jelaga. Mengapa tidak menyertakan rilisan yang sudah kalian buat sebelumnya seperti “Bones”, “Land of the Living Dead”, “Red Blood Sea”, dan “Valley of Dream”?

Tama: Sebenarnya EP Cerebro direncanakan rilis tahun kemarin. Karena kelamaan, akhirnya kami keluarkan satu lagu dulu. “Ring of Saturn” dirilis menggunakan metode tesis salah satu teman saya yang akan menyelesaikan studi pasca sarjananya. Jadi, dirilis dan sekalian membantu teman. “The Long Haul” yang ini merupakan versi beta dan direkam dengan perangkat terbatas, cukup berbeda dari “The Long Haul” yang dirilis di piringan hitam three way split.

Mirfak: Empat lagu yg disebutkan terakir tidak untuk rilisan kecil. Kita lihat saja di waktu yang tepat.


Haikal Azizi membuat proyek solo bernama Bin Idris. Bagusnya, musik yang ditampilkan berbeda dengan Sigmun. Apa itu bagian dari iseng belaka mengisi waktu ketika tidak bersama Sigmun atau memang sudah pernah dipersiapkan sebelumnya?

Tama: Berhubung Haikal lulus kuliah duluan, jadi sangat dimaklumkan sekali kalau beliau yang duluan menjadi pengangguran. Maka lahirlah Bin Idris.

Haikal: Haha. Tapi Bin Idris sebenarnya sudah ada bahkan sebelum Sigmun muncul. Sama sekali bukan iseng belaka. Masing-masing dari kami memang punya proyek selain Sigmun. Tama punya Them On Yet, Nurachman/Jono punya Mumayat, Mirfak sendiri punya proyek sampingan Tangeru Acid Disco Experience.


Dengan makin bertambahnya penikmat musik memperhatikan S - Gigsplay.com


"Sigmun Laksanakan Mini Tur Ke Singapura dan Malaysia"

Kelompok psikedelik rock Sigmun mulai memperdengarkan metode musiknya ke luar Indonesia. Hal itu akan terangkai dalam mini tur di Singapura dan Malaysia. Pertunjukan Sigmun akan dimulai selama tiga hari, mulai tanggal 31 Mei sampai dengan 2 Juni 2013.

Di tanggal 31 Mei dan 1 Juni nanti, Sigmun akan bermain di Esplanade Singapura. Kemudian, esok harinya akan menyeberang ke Kuala Lumpur Malaysia, tepatnya di Rumah Api. Merupakan salah satu tempat utama yang digunakan sebagai pergerakan budaya punk di Kuala Lumpur. Penampilan Sigmun di Malaysia juga sebagai bentuk pesta rilis sampler/demo mini album Sigmun yang dirilis ulang oleh Cactus Records. Label asal Malaysia.

Selain Cactus Recrods, ada juga Slap Bet Records asal Singapura yang memberikan dukungan terhadap mini tur Sigmun. Kedua label ini secara sengajamenyiapkan panggung di dua negara tersebut. Juga Orange Cliff Records yang kembali merilis ulang mini album Cerebro sebanyak 20 keping dengan format lathe cuts sebagai bentuk dukungan terselenggaranya mini tur ini.

Sebelumnya, Sigmun juga telah melepas “Aerial Chateau” sebagai single kedua setelah mengeluarkan mini album perdana mereka Cerebro dibawah label The Bronze Medal dan Yes No Wave. Single ini dibungkus dalam format piringan hitam 8 inci dan hanya tersedia lima keping yang berbeda. Single ini juga bisa diunduh melalui BandCamp.

Berikut daftar lagu sampler/demo EP yang dirilis ulang oleh Cactus Records:
1. Land of the Living Dead
2. Bones
3. Valley of Dream
4. Red Blood Sea
5. Aerial Chateau - Gigsplay.com


"Sigmun Laksanakan Mini Tur Ke Singapura dan Malaysia"

Kelompok psikedelik rock Sigmun mulai memperdengarkan metode musiknya ke luar Indonesia. Hal itu akan terangkai dalam mini tur di Singapura dan Malaysia. Pertunjukan Sigmun akan dimulai selama tiga hari, mulai tanggal 31 Mei sampai dengan 2 Juni 2013.

Di tanggal 31 Mei dan 1 Juni nanti, Sigmun akan bermain di Esplanade Singapura. Kemudian, esok harinya akan menyeberang ke Kuala Lumpur Malaysia, tepatnya di Rumah Api. Merupakan salah satu tempat utama yang digunakan sebagai pergerakan budaya punk di Kuala Lumpur. Penampilan Sigmun di Malaysia juga sebagai bentuk pesta rilis sampler/demo mini album Sigmun yang dirilis ulang oleh Cactus Records. Label asal Malaysia.

Selain Cactus Recrods, ada juga Slap Bet Records asal Singapura yang memberikan dukungan terhadap mini tur Sigmun. Kedua label ini secara sengajamenyiapkan panggung di dua negara tersebut. Juga Orange Cliff Records yang kembali merilis ulang mini album Cerebro sebanyak 20 keping dengan format lathe cuts sebagai bentuk dukungan terselenggaranya mini tur ini.

Sebelumnya, Sigmun juga telah melepas “Aerial Chateau” sebagai single kedua setelah mengeluarkan mini album perdana mereka Cerebro dibawah label The Bronze Medal dan Yes No Wave. Single ini dibungkus dalam format piringan hitam 8 inci dan hanya tersedia lima keping yang berbeda. Single ini juga bisa diunduh melalui BandCamp.

Berikut daftar lagu sampler/demo EP yang dirilis ulang oleh Cactus Records:
1. Land of the Living Dead
2. Bones
3. Valley of Dream
4. Red Blood Sea
5. Aerial Chateau - Gigsplay.com


"The Slo-Mo Brain of Sigmun"

Setelah sukses menjadi pengisi soundtrack film "The Raid" yang disutradarai oleh Gareth Evans, Sigmun sebagai salah satu unit freudian blues rock - mengambil dari nama Sigmund Freud - kebanggaan kota Bandung kembali dengan rilisan terbarunya yang berjudul "Cerebro".

Melambat bukan berarti musik yang mereka sajikan disini tidak menakutkan, kombinasi antara blues dan rock serta dentuman tempo lambat memberikan sensasi tersendiri yang memang menjadikan ciri khas Sigmun.

Dirilis secara bebas unduh oleh Yes No Wave, sebuah netlabel kenamaan asal Yogyakarta, "Cerebro" bisa mojang bujang nikmati di http://yesnowave.com/yesno068 . Selain itu untuk Cerebro kemasan fisik berbentuk CD juga sudah diedarkan The Bronze Medal Records melalui sistem pre-order.
- OZ Radio Bandung


"The Slo-Mo Brain of Sigmun"

Setelah sukses menjadi pengisi soundtrack film "The Raid" yang disutradarai oleh Gareth Evans, Sigmun sebagai salah satu unit freudian blues rock - mengambil dari nama Sigmund Freud - kebanggaan kota Bandung kembali dengan rilisan terbarunya yang berjudul "Cerebro".

Melambat bukan berarti musik yang mereka sajikan disini tidak menakutkan, kombinasi antara blues dan rock serta dentuman tempo lambat memberikan sensasi tersendiri yang memang menjadikan ciri khas Sigmun.

Dirilis secara bebas unduh oleh Yes No Wave, sebuah netlabel kenamaan asal Yogyakarta, "Cerebro" bisa mojang bujang nikmati di http://yesnowave.com/yesno068 . Selain itu untuk Cerebro kemasan fisik berbentuk CD juga sudah diedarkan The Bronze Medal Records melalui sistem pre-order.
- OZ Radio Bandung


"Local Vocal (No.5) : Sigmun"

After seeing Sigmun at "RRREC Fest: The Showcase" two months ago, I cannot stop listening to the tunes from this Bandung-based band.

The band’s name was inspired from the famous neurologist Sigmund Freud. The band that consist of Haikal Azizi (vocal/guitar), Nurachman Andhika (guitar), Mirfak Prabowo (bass) and Pratama Kusuma Putra (drums) actually has been making music since 2008. Even though they haven’t released an album but earlier this year they have released an EP called ‘Cerebro’. The EP includes four songs, Cerebro, The Long Haul, Ring of Saturn, and Atom Heart Father. I can easily feel what kind of ambience that they wanted to show us. As for me it is a psychedelic-rock-feel. The band who just got back from they micro tour to Singapore and Kuala Lumpur are currently giving you a free download on their website. Or if you prefer the old school way you can get their 12” vinyl. - SVANAPAPER


"Local Vocal (No.5) : Sigmun"

After seeing Sigmun at "RRREC Fest: The Showcase" two months ago, I cannot stop listening to the tunes from this Bandung-based band.

The band’s name was inspired from the famous neurologist Sigmund Freud. The band that consist of Haikal Azizi (vocal/guitar), Nurachman Andhika (guitar), Mirfak Prabowo (bass) and Pratama Kusuma Putra (drums) actually has been making music since 2008. Even though they haven’t released an album but earlier this year they have released an EP called ‘Cerebro’. The EP includes four songs, Cerebro, The Long Haul, Ring of Saturn, and Atom Heart Father. I can easily feel what kind of ambience that they wanted to show us. As for me it is a psychedelic-rock-feel. The band who just got back from they micro tour to Singapore and Kuala Lumpur are currently giving you a free download on their website. Or if you prefer the old school way you can get their 12” vinyl. - SVANAPAPER


"SIGMUN - an interview"

Sigmun is an Indonesian rock band, They describe their sound as "bringing a high gain amplifier and drums into a cave".

SB : When was Sigmun officially formed and who's playing what? What's the idea behind the band's name and what inspires you to start the band in the first place?

Sigmun : We started out with the name “LOUD” in 2008. But strictly speaking, it’s pretty much a different band, it was just Haikal on guitar and vocal, Mirfak took up the bass, and these two other guys on guitar and drums . Later on we decided to change the band’s name to “Sigmun” along with some member changes in 2011, Nurachman started playing as our lead guitarist and then Pratama joined as our drummer.
The name “Sigmun” was derived from the infamous neurologist’s name, Sigmund Freud. We’re really into surrealism and stuffs behind it, and we find psychoanalysis as a really interesting idea. But it’s not like we worship the dude and studied his theories religiously though, we just love some of his ideas, and we think his name is kinda catchy. We started the band simply because we wanted to play music in a band. Who doesn’t?



SB : You guys have released a number of recording available only online, what's the deal with that? Are you guys ok when people just download your music for free? Besides the 3 way split lp and the demo tape on the way, what else will be in store from the band? You also contribute to the soundtrack for the movie The Raid, how did that come about?

Sigmun : Wouldn’t have released it as free download materials if we didn’t think it was fine right? Haha. Besides, we see it as a very convenient way to spread our music, and having more listeners was our main goal at that time. Also, we didn’t spend much financially on the recording process, since Pratama (our drummer) did all the engineering and we recorded most of the songs inside his bedroom. It would be different if we hired a professional audio engineering services and booked a top-notch recording studio for the process. There are some other releases that we’re working on with Orange Cliff Records, an 8” (eight inch) lathed record single in limited quantity, 12” (twelve inch) lathed record version of “Cerebro”, our latest EP, and of course, our own full length LP. The recording process for the full length will start soon, we just hope that we could have it released later this year.
About The Raid soundtrack, it happened as a pure luck. Rekti from The S.I.G.I.T., a friend of ours, was the one that originally got the call, but because of one thing and another, he then offered us the role, and besides, The S.I.G.I.T. was also busy working on a new album. He contributed big time, in song writing and producing the music we made for The Raid.



SB : I saw a video of Sigmun covering Sleep's Holy Mountain and Sabbath's War Pig? Is it safe to say that those bands plays an influence in the band's sound and music? What else are you guys listening to that can be cite as an influence?

Sigmun : When we started the band, we were really influenced by vintage/psychedelic rock deities such as Black Sabbath, Led Zeppelin, Pink Floyd, Cream, etc. After some time we tried to expand our sound and some heavier references like Sleep and Bongzilla came in. Personally, Haikal is really influenced by Jack White, both his singing and guitar playing, Mirfak is a sucker for Nirvana and everything masculine, Nurachman embraces Uriah Heep, and Tama has always been a disciple of Brad Wilk from Rage Against the Machine.
Reverend Gary Davis, Son House, Skip James, Daft Punk, Depeche Mode, Slayer, Norah Jones and Siti Nurhaliza have also influenced us big time. We do not limit our influences.



SB : What can tell about the current stoner, doom scene in Indonesia?

Sigmun : There's plenty of bands to go around these days like Oath, Matiasu, Daud, Suri, etc, any other bands to look out for in the future?
The Indonesian doom scene is growing rapidly, which is a good thing, but we, the Indonesian people, tend to follow trend quickly but then end up failing to keep it last, hopefully this will not just end up as trend. We believe some of these great bands will overcome the climate changes.
We think you should try have a hear at SSSLOTHHH and Heast. The guys from SSSLOTHHH can create a massive wall of heavy sounds with just three members, and they will still sound awesome even if the soundsystems are shitty. And Heast is a band of young kids who practice Iommi’s dark teachings. Heavy guitar riffs, excessive solos and brute drummings.




SB : A friend was telling me that the current doom scene suffers from the lack of proper equipments? You guys have the bands but the equipments, amps, gadgets are not up to par with the sound and heaviness of the music, is that true? What is your opinion on this?

Sigmun : The lack of proper equipments is a problem in every scene in this country. Most of the bands cannot afford to - Slap Bet Records


"SIGMUN - an interview"

Sigmun is an Indonesian rock band, They describe their sound as "bringing a high gain amplifier and drums into a cave".

SB : When was Sigmun officially formed and who's playing what? What's the idea behind the band's name and what inspires you to start the band in the first place?

Sigmun : We started out with the name “LOUD” in 2008. But strictly speaking, it’s pretty much a different band, it was just Haikal on guitar and vocal, Mirfak took up the bass, and these two other guys on guitar and drums . Later on we decided to change the band’s name to “Sigmun” along with some member changes in 2011, Nurachman started playing as our lead guitarist and then Pratama joined as our drummer.
The name “Sigmun” was derived from the infamous neurologist’s name, Sigmund Freud. We’re really into surrealism and stuffs behind it, and we find psychoanalysis as a really interesting idea. But it’s not like we worship the dude and studied his theories religiously though, we just love some of his ideas, and we think his name is kinda catchy. We started the band simply because we wanted to play music in a band. Who doesn’t?



SB : You guys have released a number of recording available only online, what's the deal with that? Are you guys ok when people just download your music for free? Besides the 3 way split lp and the demo tape on the way, what else will be in store from the band? You also contribute to the soundtrack for the movie The Raid, how did that come about?

Sigmun : Wouldn’t have released it as free download materials if we didn’t think it was fine right? Haha. Besides, we see it as a very convenient way to spread our music, and having more listeners was our main goal at that time. Also, we didn’t spend much financially on the recording process, since Pratama (our drummer) did all the engineering and we recorded most of the songs inside his bedroom. It would be different if we hired a professional audio engineering services and booked a top-notch recording studio for the process. There are some other releases that we’re working on with Orange Cliff Records, an 8” (eight inch) lathed record single in limited quantity, 12” (twelve inch) lathed record version of “Cerebro”, our latest EP, and of course, our own full length LP. The recording process for the full length will start soon, we just hope that we could have it released later this year.
About The Raid soundtrack, it happened as a pure luck. Rekti from The S.I.G.I.T., a friend of ours, was the one that originally got the call, but because of one thing and another, he then offered us the role, and besides, The S.I.G.I.T. was also busy working on a new album. He contributed big time, in song writing and producing the music we made for The Raid.



SB : I saw a video of Sigmun covering Sleep's Holy Mountain and Sabbath's War Pig? Is it safe to say that those bands plays an influence in the band's sound and music? What else are you guys listening to that can be cite as an influence?

Sigmun : When we started the band, we were really influenced by vintage/psychedelic rock deities such as Black Sabbath, Led Zeppelin, Pink Floyd, Cream, etc. After some time we tried to expand our sound and some heavier references like Sleep and Bongzilla came in. Personally, Haikal is really influenced by Jack White, both his singing and guitar playing, Mirfak is a sucker for Nirvana and everything masculine, Nurachman embraces Uriah Heep, and Tama has always been a disciple of Brad Wilk from Rage Against the Machine.
Reverend Gary Davis, Son House, Skip James, Daft Punk, Depeche Mode, Slayer, Norah Jones and Siti Nurhaliza have also influenced us big time. We do not limit our influences.



SB : What can tell about the current stoner, doom scene in Indonesia?

Sigmun : There's plenty of bands to go around these days like Oath, Matiasu, Daud, Suri, etc, any other bands to look out for in the future?
The Indonesian doom scene is growing rapidly, which is a good thing, but we, the Indonesian people, tend to follow trend quickly but then end up failing to keep it last, hopefully this will not just end up as trend. We believe some of these great bands will overcome the climate changes.
We think you should try have a hear at SSSLOTHHH and Heast. The guys from SSSLOTHHH can create a massive wall of heavy sounds with just three members, and they will still sound awesome even if the soundsystems are shitty. And Heast is a band of young kids who practice Iommi’s dark teachings. Heavy guitar riffs, excessive solos and brute drummings.




SB : A friend was telling me that the current doom scene suffers from the lack of proper equipments? You guys have the bands but the equipments, amps, gadgets are not up to par with the sound and heaviness of the music, is that true? What is your opinion on this?

Sigmun : The lack of proper equipments is a problem in every scene in this country. Most of the bands cannot afford to - Slap Bet Records


"Suri/Sigmun/Jelaga Rilis Album Hanya 100 Kopi"

TEMPO.CO , Jakarta: Tiga band Indonesia merilis album split dalam bentuk vinyl di bawah naungan Orange Cliff Records. Mereka adalah Suri dan Jelaga dari Jakarta serta Sigmun dari Bandung.

“Dirilis Sabtu kemarin di Bukit Moko, Bandung,” ujar satu di antara lima pemilik Orange Cliff Records, Anindito Ariwandono, Ahad, 30 September 2012.

Menurut Anindito, Orange Cliff Records sengaja memilih merilis vinyl karena bakal menjadi barang yang bisa dikoleksi dan eksklusif. Karena itu, vinyl three way split itu dicetak hanya 100 kopi. “Ongkos pembuatannya mungkin lebih tinggi, akan tetapi itu akan jadi barang eksklusif,” kata pria yang disapa Dito itu.

Anindito mengatakan piringan hitam 12 inci ini bisa didapatkan melalui pemesanan dalam jaringan ke orangecliffrecords@gmail.com dengan harga Rp 235 ribu. Vinyl itu juga bisa diperoleh di Grieve Record Store di Jakarta.

Dalam rilisan itu, Jelaga menyumbang dua lagu: War Song dan Red Sky. Sigmun menggelontorkan satu lagu: The Long Haul. Sedangkan Suri memuntahkan tiga lagu: Syubuh, Policy, dan Nausea. Semua materi dalam album ini belum pernah dirilis.

Anindito mengatakan dia bersama empat pemilik Orange Cliff Record lainnya memilih ketiga band itu karena mereka menyukainya. “Karena mereka juga band-band DIY (do it yourself atau mandiri),” kata Dito.

Sigmun merupakan kuartet Bandung pengusung delta blues rock. Band yang digawangi Haikal Azizi (vokal dan gitar), Nurachman Andhika (gitar), Mirfak Prabowo (bas), dan Risyad Tabattala (drum) ini berdiri pada 2008. Sigmun menyumbangkan lagu pada film laga Indonesia The Raid.

Sementara Suri merupakan trio Jakarta yang diperkuat Rito Sini pada vokal dan gitar, Didit D-Rexx pada drum, dan Gandung pada bas. Band ini berdiri pada 2008 dengan membawakan musik stoner rock. Sedangkan, Jelaga merupakan eksponen southern rock dengan personel Adji Syailendra (vokal), Pratomo Suryo Basuki (gitar), Afrizya Bramandhita (gitar), Enrico Gobel (bas), dan Bayu Ardhyanto (drum). - TEMPO


"Suri/Sigmun/Jelaga Rilis Album Hanya 100 Kopi"

TEMPO.CO , Jakarta: Tiga band Indonesia merilis album split dalam bentuk vinyl di bawah naungan Orange Cliff Records. Mereka adalah Suri dan Jelaga dari Jakarta serta Sigmun dari Bandung.

“Dirilis Sabtu kemarin di Bukit Moko, Bandung,” ujar satu di antara lima pemilik Orange Cliff Records, Anindito Ariwandono, Ahad, 30 September 2012.

Menurut Anindito, Orange Cliff Records sengaja memilih merilis vinyl karena bakal menjadi barang yang bisa dikoleksi dan eksklusif. Karena itu, vinyl three way split itu dicetak hanya 100 kopi. “Ongkos pembuatannya mungkin lebih tinggi, akan tetapi itu akan jadi barang eksklusif,” kata pria yang disapa Dito itu.

Anindito mengatakan piringan hitam 12 inci ini bisa didapatkan melalui pemesanan dalam jaringan ke orangecliffrecords@gmail.com dengan harga Rp 235 ribu. Vinyl itu juga bisa diperoleh di Grieve Record Store di Jakarta.

Dalam rilisan itu, Jelaga menyumbang dua lagu: War Song dan Red Sky. Sigmun menggelontorkan satu lagu: The Long Haul. Sedangkan Suri memuntahkan tiga lagu: Syubuh, Policy, dan Nausea. Semua materi dalam album ini belum pernah dirilis.

Anindito mengatakan dia bersama empat pemilik Orange Cliff Record lainnya memilih ketiga band itu karena mereka menyukainya. “Karena mereka juga band-band DIY (do it yourself atau mandiri),” kata Dito.

Sigmun merupakan kuartet Bandung pengusung delta blues rock. Band yang digawangi Haikal Azizi (vokal dan gitar), Nurachman Andhika (gitar), Mirfak Prabowo (bas), dan Risyad Tabattala (drum) ini berdiri pada 2008. Sigmun menyumbangkan lagu pada film laga Indonesia The Raid.

Sementara Suri merupakan trio Jakarta yang diperkuat Rito Sini pada vokal dan gitar, Didit D-Rexx pada drum, dan Gandung pada bas. Band ini berdiri pada 2008 dengan membawakan musik stoner rock. Sedangkan, Jelaga merupakan eksponen southern rock dengan personel Adji Syailendra (vokal), Pratomo Suryo Basuki (gitar), Afrizya Bramandhita (gitar), Enrico Gobel (bas), dan Bayu Ardhyanto (drum). - TEMPO


"Sigmun - Land of the Living Dead (2011)"

Few days ago I received a mail from Sigmun which made me really happy because these guys are from Indonesia and as far as I remember I don't think I've heard anything coming from this country (I should dig more into their scene) so I got excited to listen this one.

Sigmun are a four-piece band from Bandung, Indonesia formed in 2008. They started as Loud but they changed their name ,due to issues with another band, to Sigmun taken by Sigmund Freud. This mini release features two tracks ("Red Blood Sea" and "Land Of The Living Dead") of surprisingly good heavy blues rock with bits of psych in it. They are influenced by Zeps and Sabbath as well as from more contemporary bands of heavy rock (and not only actually. In "Red Blood Sea" eg. guitar reminds me of 16 Horsepower). I could easily think that they're a band of the growing Swedish heavy rock scene. I hope that they release a full album soon. Check them out! (and read their bio's info, they have some quite interesting views about music).


Read more: http://stonedsunvibrations.blogspot.com/2011/10/sigmun-land-of-living-dead-2011.html#ixzz2dbHw5vN7 - Stoned Sun Vibrations


"Sigmun - Land of the Living Dead (2011)"

Few days ago I received a mail from Sigmun which made me really happy because these guys are from Indonesia and as far as I remember I don't think I've heard anything coming from this country (I should dig more into their scene) so I got excited to listen this one.

Sigmun are a four-piece band from Bandung, Indonesia formed in 2008. They started as Loud but they changed their name ,due to issues with another band, to Sigmun taken by Sigmund Freud. This mini release features two tracks ("Red Blood Sea" and "Land Of The Living Dead") of surprisingly good heavy blues rock with bits of psych in it. They are influenced by Zeps and Sabbath as well as from more contemporary bands of heavy rock (and not only actually. In "Red Blood Sea" eg. guitar reminds me of 16 Horsepower). I could easily think that they're a band of the growing Swedish heavy rock scene. I hope that they release a full album soon. Check them out! (and read their bio's info, they have some quite interesting views about music).


Read more: http://stonedsunvibrations.blogspot.com/2011/10/sigmun-land-of-living-dead-2011.html#ixzz2dbHw5vN7 - Stoned Sun Vibrations


"Sigmun- Aerial Chateau"

Now this is something neat, psychedelic blues rock from Bandung, Indonesia. It isn't every day that I find music from Indonesia, let alone music of this quality. Below you can find their latest release, 'Aerial Chateau' but they have a couple other albums on their bandcamp that you should check out as well.

http://sigmunmusic.bandcamp.com/ - Metalhorizons


"Sigmun- Aerial Chateau"

Now this is something neat, psychedelic blues rock from Bandung, Indonesia. It isn't every day that I find music from Indonesia, let alone music of this quality. Below you can find their latest release, 'Aerial Chateau' but they have a couple other albums on their bandcamp that you should check out as well.

http://sigmunmusic.bandcamp.com/ - Metalhorizons


"Record Review: Sigmun – Sample CD"

Back in the seventies, rock was the prevalent music genre. It is, for all intents and purposes, the musical style that defined the popular music of that era. Rock bands sold millions of records while constantly trying to push artistic boundaries, sometimes for the worse. The likes of Led Zeppelin, Kiss and Black Sabbath regularly sold out stadiums and Yes, Pink Floyd and Emerson, Lake and Palmer released long, ambitious albums that frequently border on the ridiculous if not downright idiotic. Seventies rock, whether you like it or not, helped shape the sonic landscape we are confronted with today.

Sigmun is a four piece hailing from Bandung that, according to their facebook page, lists Led Zeppelin, Black Sabbath, Son House and Jack White as their influence, all names that influenced, defined or continued the legacy of seventies rock. Indeed, their music betrays their obsession with those artists, with blues-based riffs, huge guitar sounds, howling vocals and dramatic soundscapes all playing prominent roles in their musical palette.

In the wrong hands, this could and would have been a recipe for disaster. Luckily, over the course of the 4 tracks sample cd I got my hands on, they show enough ability, creativity and personality to set them apart from countless other bands that mine the vast vault of seventies rock. “Land of the Living Dead” is a rousing stomping number culminating in a storming guitar solo by lead guitarist Nurachman Andika. Second track “Bones” is a hard rocker in the proud tradition of Led Zeppelin’s Achilles’ Last Stand, featuring a pretty impressive effect laden instrumental break that you just have to bang your head to. “Valley of Dreams” is a song that starts much more slowly, weaving a psychedelic texture that brings to mind the more abstract stylings of krautrock bands such as Can or Amon Düül, before closing the proceedings with a Black Sabbath-esque bang. “Red Blood Sea” features slide guitars and vocals that pay homage to the White Stripes and is probably the song that veered closest into the realm of pastiche.

All in all I think it’s safe to say that I will be expecting great things to come from this band. Alone their willingness not to jump into the danceable/quirky-indie-folk/pop bandwagon that seems to plague many young bands these days is refreshing. But even putting that aside they show more than enough promise to come up with a work that will expand the already laudable foundation laid here. - Whiteboard Journal


"Record Review: Sigmun – Sample CD"

Back in the seventies, rock was the prevalent music genre. It is, for all intents and purposes, the musical style that defined the popular music of that era. Rock bands sold millions of records while constantly trying to push artistic boundaries, sometimes for the worse. The likes of Led Zeppelin, Kiss and Black Sabbath regularly sold out stadiums and Yes, Pink Floyd and Emerson, Lake and Palmer released long, ambitious albums that frequently border on the ridiculous if not downright idiotic. Seventies rock, whether you like it or not, helped shape the sonic landscape we are confronted with today.

Sigmun is a four piece hailing from Bandung that, according to their facebook page, lists Led Zeppelin, Black Sabbath, Son House and Jack White as their influence, all names that influenced, defined or continued the legacy of seventies rock. Indeed, their music betrays their obsession with those artists, with blues-based riffs, huge guitar sounds, howling vocals and dramatic soundscapes all playing prominent roles in their musical palette.

In the wrong hands, this could and would have been a recipe for disaster. Luckily, over the course of the 4 tracks sample cd I got my hands on, they show enough ability, creativity and personality to set them apart from countless other bands that mine the vast vault of seventies rock. “Land of the Living Dead” is a rousing stomping number culminating in a storming guitar solo by lead guitarist Nurachman Andika. Second track “Bones” is a hard rocker in the proud tradition of Led Zeppelin’s Achilles’ Last Stand, featuring a pretty impressive effect laden instrumental break that you just have to bang your head to. “Valley of Dreams” is a song that starts much more slowly, weaving a psychedelic texture that brings to mind the more abstract stylings of krautrock bands such as Can or Amon Düül, before closing the proceedings with a Black Sabbath-esque bang. “Red Blood Sea” features slide guitars and vocals that pay homage to the White Stripes and is probably the song that veered closest into the realm of pastiche.

All in all I think it’s safe to say that I will be expecting great things to come from this band. Alone their willingness not to jump into the danceable/quirky-indie-folk/pop bandwagon that seems to plague many young bands these days is refreshing. But even putting that aside they show more than enough promise to come up with a work that will expand the already laudable foundation laid here. - Whiteboard Journal


"The Young Turks vs The Old Guard"

2012 will be remembered by music historians of the future as the year when the local music scene had one of its watershed moments.

The year will go down in the country’s music history as a moment when — quoting Italian Marxist thinker Antonio Gramsci — the old is dying and the new cannot be born. And here we are not even talking about the age-old division of mainstream versus indie. Even within the independent music scene the gap could not be more apparent.

This year, the independent scene was defined by the competition between the old guard and a new generation of young musicians, some of whom are in their teens, who are trying to chart a new course for the country’s music scene.

Members of the old guard, bands like Seringai, Pure Saturday, Roxx and rumahsakit made comebacks this year, releasing records that their devotees easily hailed as the saviors of rock.

While the technical quality of the bands’ recorded material could surely match their earlier output, stylistically there is little that we can take away from them. Seringai’s Taring (Fang), Pure Saturday’s Grey or Roxx’s Jauh Dari Tuhan (Far from God) are certainly no duds, but they fail to impress. These records have the sound of bands at their most complacent, reworking an old formula and adding bits and pieces as the budget permits.

The same “if it ain’t broke, don’t fix it” rule has also been adopted by several bands that many critics consider to be representations of the “extremely” mainstream music scene, the likes of Noah and Nidji.

Noah, the new incarnation of the massively popular pop band Peterpan, and arguably the biggest band in the country, made an impressive return to the scene this year. They peddled the same formula. The band rehashed the old tricks of mixing sappy woe-is-me lyrics with writhing guitar lines and tinkling pianos.

The band’s comeback record “Separuh Aku” (Half of Me) was a massive hit and their sold-out concerts lined the pockets of Musica, which has suffered financially from illegal downloads and a lack of worthy performers beyond Agnes Monica. As for Nidji, they remained consistent; churning out fist-pumping Coldplay-lite that could sell a lot of sodas on national television.

As there is no “alternative scene” to speak of in the mainstream music industry, the breath of fresh air comes from the small circle of independent musicians — sometimes residing outside Jakarta — who run a covert operation. These bands aren’t bothered if they sell their music or not.

And the most amazing thing about these young Turks is that they — without the pressure of having to score big hits or perform on national television — were able to produce some of the best and most original music in 2012.

Take the Palembang, South Sumatra-based collective Semakbelukar, for example. The band made a splash in the local scene after releasing its Drohaka EP earlier this year as a free download through the Yogyakarta-based netlabel Yes No Wave.

This collective, led by vocalist David Hersya, certainly has difficulties fitting in with the Britpop-
influenced independent scene, because they play one of the most uncool genres, Malay-influenced music which relies so much on the simple beats of traditional percussion and the soothing sound of a lone accordion.

But for some inexplicable reason, David Hersya’s irony-free take on traditional East Coast Sumatran music comes off as the most-groundbreaking and original work this year, an anomaly in a field dominated by The Smiths rip-offs. It helps that David has one of the most impressive pipes and can come up with some of the best rhymes in recent memory. Semakbelukar will surely follow in the footsteps of local hero Golden Wing, which rocked the country’s rock scene in the 1970s.

Another surprise this year also came from outside of Jakarta. Bandung has long had the country’s most active scene and this year the city proudly dispatched its best talents in the form of four young men who are barely in their twenties.

Sigmun, the quartet of Haikal Azizi, Nurachman Andika, Mirfak Prabowo and Risyad Tabattala, got their big break when they contributed a song for the closing credits of the blockbuster movie The Raid. Not many people noticed, but those who paid attention would surely agree that their track was a better composition than what Linkin Park MC Mike Shinoda wrote as a score for the Hollywood release of The Raid.

If Semakbelukar shuns irony, Sigmun embraces it shamelessly. After all, the quartet’s biggest inspirations, Black Sabbath and Led Zeppelin have been mined and parodied to death and the only way to bring credibility to their mimicking of the two legends is by copying them with the right amount of ironic glee.

Haikal even sings in the highest register of his voice as if to prove the point that they are goofing off. And coupled with sludgy riffs and the booming sound of its rhythm section, Sigmun delivered the most fun this year. Sigmun knows how to have fu - The Jakarta Post


"The Young Turks vs The Old Guard"

2012 will be remembered by music historians of the future as the year when the local music scene had one of its watershed moments.

The year will go down in the country’s music history as a moment when — quoting Italian Marxist thinker Antonio Gramsci — the old is dying and the new cannot be born. And here we are not even talking about the age-old division of mainstream versus indie. Even within the independent music scene the gap could not be more apparent.

This year, the independent scene was defined by the competition between the old guard and a new generation of young musicians, some of whom are in their teens, who are trying to chart a new course for the country’s music scene.

Members of the old guard, bands like Seringai, Pure Saturday, Roxx and rumahsakit made comebacks this year, releasing records that their devotees easily hailed as the saviors of rock.

While the technical quality of the bands’ recorded material could surely match their earlier output, stylistically there is little that we can take away from them. Seringai’s Taring (Fang), Pure Saturday’s Grey or Roxx’s Jauh Dari Tuhan (Far from God) are certainly no duds, but they fail to impress. These records have the sound of bands at their most complacent, reworking an old formula and adding bits and pieces as the budget permits.

The same “if it ain’t broke, don’t fix it” rule has also been adopted by several bands that many critics consider to be representations of the “extremely” mainstream music scene, the likes of Noah and Nidji.

Noah, the new incarnation of the massively popular pop band Peterpan, and arguably the biggest band in the country, made an impressive return to the scene this year. They peddled the same formula. The band rehashed the old tricks of mixing sappy woe-is-me lyrics with writhing guitar lines and tinkling pianos.

The band’s comeback record “Separuh Aku” (Half of Me) was a massive hit and their sold-out concerts lined the pockets of Musica, which has suffered financially from illegal downloads and a lack of worthy performers beyond Agnes Monica. As for Nidji, they remained consistent; churning out fist-pumping Coldplay-lite that could sell a lot of sodas on national television.

As there is no “alternative scene” to speak of in the mainstream music industry, the breath of fresh air comes from the small circle of independent musicians — sometimes residing outside Jakarta — who run a covert operation. These bands aren’t bothered if they sell their music or not.

And the most amazing thing about these young Turks is that they — without the pressure of having to score big hits or perform on national television — were able to produce some of the best and most original music in 2012.

Take the Palembang, South Sumatra-based collective Semakbelukar, for example. The band made a splash in the local scene after releasing its Drohaka EP earlier this year as a free download through the Yogyakarta-based netlabel Yes No Wave.

This collective, led by vocalist David Hersya, certainly has difficulties fitting in with the Britpop-
influenced independent scene, because they play one of the most uncool genres, Malay-influenced music which relies so much on the simple beats of traditional percussion and the soothing sound of a lone accordion.

But for some inexplicable reason, David Hersya’s irony-free take on traditional East Coast Sumatran music comes off as the most-groundbreaking and original work this year, an anomaly in a field dominated by The Smiths rip-offs. It helps that David has one of the most impressive pipes and can come up with some of the best rhymes in recent memory. Semakbelukar will surely follow in the footsteps of local hero Golden Wing, which rocked the country’s rock scene in the 1970s.

Another surprise this year also came from outside of Jakarta. Bandung has long had the country’s most active scene and this year the city proudly dispatched its best talents in the form of four young men who are barely in their twenties.

Sigmun, the quartet of Haikal Azizi, Nurachman Andika, Mirfak Prabowo and Risyad Tabattala, got their big break when they contributed a song for the closing credits of the blockbuster movie The Raid. Not many people noticed, but those who paid attention would surely agree that their track was a better composition than what Linkin Park MC Mike Shinoda wrote as a score for the Hollywood release of The Raid.

If Semakbelukar shuns irony, Sigmun embraces it shamelessly. After all, the quartet’s biggest inspirations, Black Sabbath and Led Zeppelin have been mined and parodied to death and the only way to bring credibility to their mimicking of the two legends is by copying them with the right amount of ironic glee.

Haikal even sings in the highest register of his voice as if to prove the point that they are goofing off. And coupled with sludgy riffs and the booming sound of its rhythm section, Sigmun delivered the most fun this year. Sigmun knows how to have fu - The Jakarta Post


"At a Glimpse: New music landmark emerges with Orange Cliff"

An upstart record label, Orange Cliff Records, has released a compilation album featuring three promising rock bands — Suri, Sigmun and Jelaga — under one 12-inch vinyl release.

The Bandung-based record label planted its feet firmly in the Indonesian rock scene with its first release on Sept. 29, with tracks running the gamut from Jelaga’s thrashing punk metal opener “Red Sky” to the gutsy, driving beat of Sigmun’s “The Long Haul”.

“We want to bring back the culture of buying records in a physical format. Releasing a record on vinyl is form of deep appreciation for the musician because people who want to have the record need to put out extra effort compared to listening to it through an iPod, laptop or any other digital device,” says Anindito from Orange Cliff Records.

The self-titled album features brilliant artwork by Morrg, one of Bandung’s finest artists.

“We thought of the collectable value when we chose to release this album on vinyl, because you’re not only selling audible material but also the packaging, artwork and the beauty of vinyl itself,” Anindito continued.

For the same reason, the album is a limited release, with only 100 hand-numbered copies available. “There are no plans for a repressing once the stock is sold out and it’s up to the bands if they want to put the songs on this record on another release,” says Anindito.

Though Suri and Jelaga have a few albums to their credit, both created new songs for the compilation. Sigmun, having attracted broad attention for their contribution to the soundtrack of the blockbuster action movie The Raid, is the most promising one. They’re all playing rock music.

“There’s no particular reason why we choose these bands [for this compilation]. It’s just that eventually, we came to love each other and we really love their music,” explains Anindito.

Orange Cliff Records can be contacted at facebook.com/OrangeCliffRecords or twitter.com/OrangeCliff.

— Felix Dass - The Jakarta Post


"At a Glimpse: New music landmark emerges with Orange Cliff"

An upstart record label, Orange Cliff Records, has released a compilation album featuring three promising rock bands — Suri, Sigmun and Jelaga — under one 12-inch vinyl release.

The Bandung-based record label planted its feet firmly in the Indonesian rock scene with its first release on Sept. 29, with tracks running the gamut from Jelaga’s thrashing punk metal opener “Red Sky” to the gutsy, driving beat of Sigmun’s “The Long Haul”.

“We want to bring back the culture of buying records in a physical format. Releasing a record on vinyl is form of deep appreciation for the musician because people who want to have the record need to put out extra effort compared to listening to it through an iPod, laptop or any other digital device,” says Anindito from Orange Cliff Records.

The self-titled album features brilliant artwork by Morrg, one of Bandung’s finest artists.

“We thought of the collectable value when we chose to release this album on vinyl, because you’re not only selling audible material but also the packaging, artwork and the beauty of vinyl itself,” Anindito continued.

For the same reason, the album is a limited release, with only 100 hand-numbered copies available. “There are no plans for a repressing once the stock is sold out and it’s up to the bands if they want to put the songs on this record on another release,” says Anindito.

Though Suri and Jelaga have a few albums to their credit, both created new songs for the compilation. Sigmun, having attracted broad attention for their contribution to the soundtrack of the blockbuster action movie The Raid, is the most promising one. They’re all playing rock music.

“There’s no particular reason why we choose these bands [for this compilation]. It’s just that eventually, we came to love each other and we really love their music,” explains Anindito.

Orange Cliff Records can be contacted at facebook.com/OrangeCliffRecords or twitter.com/OrangeCliff.

— Felix Dass - The Jakarta Post


"Sigmun Akan Gelar Tur Konser Mini ke Singapura dan Malaysia"

Bandung - Gerombolan band asal Bandung yang menamakan diri mereka Sigmun akan menggelar tur konser mini ke dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia, seperti tercantum pada rilis pers yang diterima Rolling Stone.

Vokalis sekaligus gitaris Haikal Azizi, gitaris Nurachman Andhika, bassist Mirfak Prabowo, dan drummer Pratama Kusuma akan terlebih dulu menyambangi Singapura guna tampil di area prestisius, Esplanade, sebanyak dua kali, masing-masing pada 31 Mei dan 1 Juni.

Mereka akan berbagi panggung dengan I Am David Sparkle asal Singapura dan juga Polyester Embassy yang, seperti Sigmun, berasal dari Bandung.

Lalu pada 2 Juni, giliran Kuala Lumpur, Malaysia yang akan disuguhkan dengan sekumpulan aransemen rock memabukkan milik Sigmun; tepatnya di sebuah tempat bernama Rumah Api yang diklaim sebagai salah satu tulang punggung pergerakan budaya do-it-yourself di Kuala Lumpur.

Penampilan Sigmun di Negeri Jiran sekaligus menjadi ajang pesta peluncuran demo Sigmun yang telah dimodifikasi oleh pihak label rekaman independen Cactus Records dari Malaysia. Empat lagu yang memuat demo tersebut, “Land of the Living Dead”, “Bones”, “Valley of Dream”, dan “Red Blood Sea”, di-mastering ulang serta ditambah dengan “Aerial Chateau”.

Bila Cactus Records menjadi pelaksana konser Sigmun di Malaysia, maka untuk di Singapura pihak yang bertanggung jawab adalah Slap Bet Records. Selain itu, Orange Cliff Records dari Indonesia juga turut berperan dengan merilis ulang album mini Cerebro dalam format lathe cuts warna transparan sebanyak dua puluh keping, khusus sebagai bentuk dukungan demi terselenggaranya tur mini ini.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Sigmun Akan Mengeluarkan Rilisan Super Terbatas, 20 April"

Bandung - Setelah album demo yang dibagikan untuk kalangan terbatas, piringan hitam three-way split bersama Suri dan Jelaga yang dicetak 100 keping saja dan album mini Cerebro sebanyak 40 keping, salah satu perwakilan generasi baru rock Indonesia, Sigmun, akan kembali mengeluarkan rilisan terbatas, bahkan untuk kali ini: super terbatas.

Disebarkan dalam format piringan hitam model lathe delapan inci oleh Orange Cliff Records, rilisan ini memuat dua lagu yang masing-masing adalah lagu anyar berjudul “Aerial Chateau” dan “Ring of Saturn” yang juga tercantum pada album Cerebro. Ada pun jumlah keping yang dicetak adalah lima buah saja.

Setiap kepingnya memiliki warna cetakan yang berbeda, yaitu hiijau, putih, biru, merah, dan ungu. Selain itu, ada pula pembubuhan nomor yang ditulis tangan serta kode unduh yang hanya bisa dipakai satu kali.

Walau begitu, lagu “Aerial Chateau” juga direncanakan untuk dapat diunduh bebas melalui situs RollingStone.co.id tak lama setelah tanggal perilisannya.

Ketika ditanya oleh Rolling Stone mengenai keputusan Sigmun dalam mencetak rilisan sebanyak lima keping saja, Anindito Ariwandono selaku manajer Sigmun yang juga merupakan salah satu pemilik Orange Cliff Records menyatakan: “Dari dulu kami memang ingin bikin rilisan yang sangat limited sampai hampir seperti bercanda saja.”

“Lagipula awalnya ‘Aerial Chateau’ memang direncanakan untuk hanya free download, jadi sekalian saja dirilis fisiknya tapi dalam jumlah yang sedikit,” lanjut pria yang akrab dipanggil Dito ini.

Aerial Chateu 8” Single ini hanya dapat dibeli melalui BigCartel mulai 20 April mendatang dengan harga 19.50 dollar AS atau Rp 192 ribu.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Sigmun Akan Mengeluarkan Rilisan Super Terbatas, 20 April"

Bandung - Setelah album demo yang dibagikan untuk kalangan terbatas, piringan hitam three-way split bersama Suri dan Jelaga yang dicetak 100 keping saja dan album mini Cerebro sebanyak 40 keping, salah satu perwakilan generasi baru rock Indonesia, Sigmun, akan kembali mengeluarkan rilisan terbatas, bahkan untuk kali ini: super terbatas.

Disebarkan dalam format piringan hitam model lathe delapan inci oleh Orange Cliff Records, rilisan ini memuat dua lagu yang masing-masing adalah lagu anyar berjudul “Aerial Chateau” dan “Ring of Saturn” yang juga tercantum pada album Cerebro. Ada pun jumlah keping yang dicetak adalah lima buah saja.

Setiap kepingnya memiliki warna cetakan yang berbeda, yaitu hiijau, putih, biru, merah, dan ungu. Selain itu, ada pula pembubuhan nomor yang ditulis tangan serta kode unduh yang hanya bisa dipakai satu kali.

Walau begitu, lagu “Aerial Chateau” juga direncanakan untuk dapat diunduh bebas melalui situs RollingStone.co.id tak lama setelah tanggal perilisannya.

Ketika ditanya oleh Rolling Stone mengenai keputusan Sigmun dalam mencetak rilisan sebanyak lima keping saja, Anindito Ariwandono selaku manajer Sigmun yang juga merupakan salah satu pemilik Orange Cliff Records menyatakan: “Dari dulu kami memang ingin bikin rilisan yang sangat limited sampai hampir seperti bercanda saja.”

“Lagipula awalnya ‘Aerial Chateau’ memang direncanakan untuk hanya free download, jadi sekalian saja dirilis fisiknya tapi dalam jumlah yang sedikit,” lanjut pria yang akrab dipanggil Dito ini.

Aerial Chateu 8” Single ini hanya dapat dibeli melalui BigCartel mulai 20 April mendatang dengan harga 19.50 dollar AS atau Rp 192 ribu.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"CD Review: Sigmun - 'Cerebro'"

Masih album mini memang, namun lebih baik dari tidak sama sekali. Toh empat lagu dari rilisan label rekaman milik Marcel Thee ini memamerkan kapasitas vokalis sekaligus gitaris Haikal Azizi, gitaris Nurachman Andika, bassist Mirfak Prabowo, dan drummer Pratama Kusuma Putra dalam menciptakan karya dengan ragam yang membentang luas.

Setelah lagu demo macam “Night of the Living Dead” dan “Bones” yang berhutang banyak terhadap liukan rock klasik a la Led Zepellin, Sigmun kini bermain lambat, berat dan hebat pada Cerebro. Bahkan lagu instrumentalia pembuka pada album ini, yang memiliki judul sama dengan tajuk album, bertempo paling lambat jika dibandingkan dengan tiga lagu setelahnya.

Repetisi riff gitar teler dan permainan drum yang menggaung membuat lagu “Cerebro” begitu menderu. “The Long Haul” menjadi menu berikutnya. Lagu ini sudah lebih dulu masuk ke dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga yang dirilis dalam format piringan hitam pada September 2012 silam, hanya saja versi yang ada pada Cerebro dipotong sekitar dua per tiga dari versi asli.

Warna Timur Tengah berkat eksplorasi vokal Haikal yang dikombinasikan dengan aransemen bak dengungan lebah jantan padang pasir liar adalah bukti bahwa yang namanya heavy barokah, frase karangan Haikal sendiri, benar-benar ada. “Ring of Saturn” adalah spesies paling berbeda dari Cerebro berkat dentuman bas penuh irama dari Mirfak yang seakan-akan ia jambret langsung dari bassist Can, Holger Czukay.

Namun secara keseluruhan “Ring of Saturn” terdengar seperti sebuah karya kolaborasi antara Hawkwind dengan David Gilmour pada gitar, plus lirik yang dicuri dari alam pikiran Sun Ra. Sementara itu, “Atom Heart Father”, judul brengsek yang jelas-jelas merupakan plesetan dari album Atom Heart Mother milik Pink Floyd, cocok dijadikan jingle iklan Marlboro yang dibintangi oleh seorang space cowboy.

Mendengar empat lagu pada Cerebro seperti menyimak rencana prajurit rock angkasa bernama Sigmun dalam memporak-porandakan seantero galaksi musikal. Rencana yang layak dipraktikkan pada album penuh perdana mereka di kemudian hari.???
(RS/RS)
- Rolling Stone Indonesia


"CD Review: Sigmun - 'Cerebro'"

Masih album mini memang, namun lebih baik dari tidak sama sekali. Toh empat lagu dari rilisan label rekaman milik Marcel Thee ini memamerkan kapasitas vokalis sekaligus gitaris Haikal Azizi, gitaris Nurachman Andika, bassist Mirfak Prabowo, dan drummer Pratama Kusuma Putra dalam menciptakan karya dengan ragam yang membentang luas.

Setelah lagu demo macam “Night of the Living Dead” dan “Bones” yang berhutang banyak terhadap liukan rock klasik a la Led Zepellin, Sigmun kini bermain lambat, berat dan hebat pada Cerebro. Bahkan lagu instrumentalia pembuka pada album ini, yang memiliki judul sama dengan tajuk album, bertempo paling lambat jika dibandingkan dengan tiga lagu setelahnya.

Repetisi riff gitar teler dan permainan drum yang menggaung membuat lagu “Cerebro” begitu menderu. “The Long Haul” menjadi menu berikutnya. Lagu ini sudah lebih dulu masuk ke dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga yang dirilis dalam format piringan hitam pada September 2012 silam, hanya saja versi yang ada pada Cerebro dipotong sekitar dua per tiga dari versi asli.

Warna Timur Tengah berkat eksplorasi vokal Haikal yang dikombinasikan dengan aransemen bak dengungan lebah jantan padang pasir liar adalah bukti bahwa yang namanya heavy barokah, frase karangan Haikal sendiri, benar-benar ada. “Ring of Saturn” adalah spesies paling berbeda dari Cerebro berkat dentuman bas penuh irama dari Mirfak yang seakan-akan ia jambret langsung dari bassist Can, Holger Czukay.

Namun secara keseluruhan “Ring of Saturn” terdengar seperti sebuah karya kolaborasi antara Hawkwind dengan David Gilmour pada gitar, plus lirik yang dicuri dari alam pikiran Sun Ra. Sementara itu, “Atom Heart Father”, judul brengsek yang jelas-jelas merupakan plesetan dari album Atom Heart Mother milik Pink Floyd, cocok dijadikan jingle iklan Marlboro yang dibintangi oleh seorang space cowboy.

Mendengar empat lagu pada Cerebro seperti menyimak rencana prajurit rock angkasa bernama Sigmun dalam memporak-porandakan seantero galaksi musikal. Rencana yang layak dipraktikkan pada album penuh perdana mereka di kemudian hari.???
(RS/RS)
- Rolling Stone Indonesia


"Jamie Aditya, Jirapah, Negative Lovers, dan Sigmun untuk Malam Dana The Jakarta Foreign Correspondents Club"

Jakarta - Setelah menampilkan Seringai, BRNDLS, White Shoes and the Couples Company, dan Hightime Rebellion pada tahun lalu, kini Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC) kembali menggelar JFCC Charity Jam untuk tahun keempat pada 20 April mendatang di Rumah 91, Hotel Akmani, Jakarta.

Empat band yang tahun ini bertugas sebagai pengisi acara adalah Jamie Aditya, Jirapah, Negative Lovers, dan Sigmun. Akan ada pula putaran lagu dari Jason Tedjasukmana yang menggunakan nama alias DJ Bodrek.

Patut digarisbawahi bahwa ajang ini akan menjadi konser perdana Jamie Aditya sejak dua tahun silam, yang juga berarti konser pertamanya setelah merilis album penuh perdana LMNOP pada tahun 2012 lalu.

Selain itu, vokalis sekaligus gitaris Tony Setiaji, gitaris Benedict Pardede, bassist Respati Nugroho, dan drummer Yoga Indrista juga akan menandakan penampilan pertama mereka di hadapan publik dengan nama Negative Lovers; sebelumnya noise rockers asal Jakarta ini beridentitas Denial.

Tiket masuk JFCC Charity Jam 2013 dibagi menjadi dua tahap penjualan, yaitu Rp 75 ribu untuk early bird (jika persediaan masih ada) dan Rp 125 ribu untuk harga normal serta pembelian secara langsung di lokasi.

Tiket akan mulai dijual pada 1 April di kantor JFCC yang terletak di daerah Imam Bonjol, Jakarta dan bisa juga dengan mengontak office@jfcc.info atau nomor telepon 021-3903628.

JFCC Charity Jam ini pertama digelar pada 2010 untuk mengenang seorang jurnalis asing bernama Tim Mapes yang meninggal dunia karena kanker otak pada usia 42 tahun. Ia merupakan jurnalis Wall Street Journal yang sempat bekerja di Warsaw, New Delhi, Singapura, dan Jakarta.

Mapes adalah penggemar berat Slank dan berbagai band Indonesia lainnya, dan dari fakta tersebutlah JFCC menggelar konser penggalangan dana ini. Sebagai informasi, pemasukan yang terkumpul dari JFCC Charity Jam akan disumbangkan ke JFCC Memorial Fund untuk pelatihan jurnalis Indonesia.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Jamie Aditya, Jirapah, Negative Lovers, dan Sigmun untuk Malam Dana The Jakarta Foreign Correspondents Club"

Jakarta - Setelah menampilkan Seringai, BRNDLS, White Shoes and the Couples Company, dan Hightime Rebellion pada tahun lalu, kini Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC) kembali menggelar JFCC Charity Jam untuk tahun keempat pada 20 April mendatang di Rumah 91, Hotel Akmani, Jakarta.

Empat band yang tahun ini bertugas sebagai pengisi acara adalah Jamie Aditya, Jirapah, Negative Lovers, dan Sigmun. Akan ada pula putaran lagu dari Jason Tedjasukmana yang menggunakan nama alias DJ Bodrek.

Patut digarisbawahi bahwa ajang ini akan menjadi konser perdana Jamie Aditya sejak dua tahun silam, yang juga berarti konser pertamanya setelah merilis album penuh perdana LMNOP pada tahun 2012 lalu.

Selain itu, vokalis sekaligus gitaris Tony Setiaji, gitaris Benedict Pardede, bassist Respati Nugroho, dan drummer Yoga Indrista juga akan menandakan penampilan pertama mereka di hadapan publik dengan nama Negative Lovers; sebelumnya noise rockers asal Jakarta ini beridentitas Denial.

Tiket masuk JFCC Charity Jam 2013 dibagi menjadi dua tahap penjualan, yaitu Rp 75 ribu untuk early bird (jika persediaan masih ada) dan Rp 125 ribu untuk harga normal serta pembelian secara langsung di lokasi.

Tiket akan mulai dijual pada 1 April di kantor JFCC yang terletak di daerah Imam Bonjol, Jakarta dan bisa juga dengan mengontak office@jfcc.info atau nomor telepon 021-3903628.

JFCC Charity Jam ini pertama digelar pada 2010 untuk mengenang seorang jurnalis asing bernama Tim Mapes yang meninggal dunia karena kanker otak pada usia 42 tahun. Ia merupakan jurnalis Wall Street Journal yang sempat bekerja di Warsaw, New Delhi, Singapura, dan Jakarta.

Mapes adalah penggemar berat Slank dan berbagai band Indonesia lainnya, dan dari fakta tersebutlah JFCC menggelar konser penggalangan dana ini. Sebagai informasi, pemasukan yang terkumpul dari JFCC Charity Jam akan disumbangkan ke JFCC Memorial Fund untuk pelatihan jurnalis Indonesia.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Album Mini Perdana Sigmun, 'Cerebro', Sudah Bisa Diunduh Bebas"

Bandung - Rilisan terbatas label rekaman independen The Bronze Medal Records berupa cakram padat album mini perdana Sigmun yang diberi tajuk Cerebro boleh habis dalam waktu enam jam pada pertengahan Januari lalu, namun orang-orang yang tidak kebagian masih bisa menyimak album tersebut secara digital.

Mulai Selasa (5/2) lalu, netlabel terkemuka asal Yogyakarta, Yes No Wave Music, telah merilis album berisi empat lagu tersebut untuk diunduh bebas di sini.

Pada versi digital ini, album Cerebro juga disertai dengan catatan pinggir dari Keke Tumbuan selaku penggiat seni ibu kota yang merupakan tandem Indra Ameng dalam The Secret Agents, penyedia wadah keriaan Jakarta.

Di catatan pinggir tersebut Keke mengulas panjang lebar setiap lagu yang menghiasi Cerebro, yaitu “Cerebro”, “The Long Haul”, “Ring of Saturn”, dan “Atom Heart Father”, yang judulnya jelas-jelas adalah plesetan dari album Pink Floyd rilisan 1970, Atom Heart Mother.

Keke lalu memuji Sigmun setinggi langit dengan menyebutnya sebagai salah satu band lokal favorit pribadi. “Five stars for sure,” tulis Keke menutup catatan pinggirnya.

Patut digarisbawahi bahwa “The Long Haul” sebelumnya sudah lebih dulu masuk ke dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga. Hanya saja, yang ada pada Cerebro merupakan versi pendeknya. Sebagai perbandingan, “The Long Haul” pada three-way split memiliki durasi nyaris lima belas menit, sementara pada Cerebro berdurasi lima setengah menit.

Seluruh lagu yang ada pada Cerebro direkam di kamar drummer Pratama Kusuma yang terletak di Bandung. Sigmun menjadi produser mandiri, sementara Wing Narada Putra bertindak sebagai peramu rekam.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Album Mini Perdana Sigmun, 'Cerebro', Sudah Bisa Diunduh Bebas"

Bandung - Rilisan terbatas label rekaman independen The Bronze Medal Records berupa cakram padat album mini perdana Sigmun yang diberi tajuk Cerebro boleh habis dalam waktu enam jam pada pertengahan Januari lalu, namun orang-orang yang tidak kebagian masih bisa menyimak album tersebut secara digital.

Mulai Selasa (5/2) lalu, netlabel terkemuka asal Yogyakarta, Yes No Wave Music, telah merilis album berisi empat lagu tersebut untuk diunduh bebas di sini.

Pada versi digital ini, album Cerebro juga disertai dengan catatan pinggir dari Keke Tumbuan selaku penggiat seni ibu kota yang merupakan tandem Indra Ameng dalam The Secret Agents, penyedia wadah keriaan Jakarta.

Di catatan pinggir tersebut Keke mengulas panjang lebar setiap lagu yang menghiasi Cerebro, yaitu “Cerebro”, “The Long Haul”, “Ring of Saturn”, dan “Atom Heart Father”, yang judulnya jelas-jelas adalah plesetan dari album Pink Floyd rilisan 1970, Atom Heart Mother.

Keke lalu memuji Sigmun setinggi langit dengan menyebutnya sebagai salah satu band lokal favorit pribadi. “Five stars for sure,” tulis Keke menutup catatan pinggirnya.

Patut digarisbawahi bahwa “The Long Haul” sebelumnya sudah lebih dulu masuk ke dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga. Hanya saja, yang ada pada Cerebro merupakan versi pendeknya. Sebagai perbandingan, “The Long Haul” pada three-way split memiliki durasi nyaris lima belas menit, sementara pada Cerebro berdurasi lima setengah menit.

Seluruh lagu yang ada pada Cerebro direkam di kamar drummer Pratama Kusuma yang terletak di Bandung. Sigmun menjadi produser mandiri, sementara Wing Narada Putra bertindak sebagai peramu rekam.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Sigmun Rilis Album Mini Bertajuk 'Cerebro'"

Bandung - Komplotan penyembah rock keras yang menamakan diri mereka Sigmun telah merilis album mini bertajuk Cerebro di bawah naungan label rekaman The Bronze Medal Records yang merupakan kepunyaan Marcel Thee, selama ini dikenal sebagai pentolan Sajama Cut dan tahun lalu merilis album perdana sebagai artis solo.

Cerebro dirilis dalam jumlah terbatas, empat puluh keping, dan mulai dijual pada Selasa (15/1) lalu dengan sistem pemesanan lewat surat elektronik. First come, first serve menjadi metode yang digunakan oleh pihak label rekaman, dengan begitu nomor urut pada CD akan disesuaikan dengan urutan individu yang memesan. Dalam waktu enam jam, album berisi empat lagu tersebut sudah ludes terjual.

Ini merupakan pertama kalinya album Sigmun dijual untuk umum. Sebelumnya, Sigmun hanya pernah merilis demo yang dibagikan untuk kalangan terbatas dan turut serta dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga rilisan Orange Cliff Records berformat piringan hitam.

Soal kemasan, Cerebro menampilkan teknik woodcut untuk bagian lengan album dan disertakan pula bonus poster berukuran A3. Kedua nilai lebih bentuk fisik album Cerebro tersebut dikerjakan oleh rekan para personel Sigmun yang berkuliah di Institut Teknologi Bandung jurusan Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Ada pun empat lagu gubahan vokalis sekaligus gitaris Haikal Azizi, gitaris Nurachman Andhika, bassist Mirfak Prabowo, serta drummer Pratama Kusuma Putra yang tercantum dalam Cerebro masing-masing berjudul “Cerebro”, “The Long Haul”, “Ring of Saturn”, dan “Atom Heart Father”.

Patut digarisbawahi bahwa “The Long Haul” sebelumnya sudah lebih dulu masuk ke dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga. Hanya saja, yang ada pada Cerebro merupakan versi pendeknya. Sebagai perbandingan, “The Long Haul” pada three-way split memiliki durasi nyaris lima belas menit, sementara pada Cerebro berdurasi lima setengah menit.

Pekan depan, Cerebro juga direncanakan untuk rilis dengan sistem bebas unduh melalui netlabel terkemuka asal Yogyakarta, Yes No Wave Music.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Sigmun Rilis Album Mini Bertajuk 'Cerebro'"

Bandung - Komplotan penyembah rock keras yang menamakan diri mereka Sigmun telah merilis album mini bertajuk Cerebro di bawah naungan label rekaman The Bronze Medal Records yang merupakan kepunyaan Marcel Thee, selama ini dikenal sebagai pentolan Sajama Cut dan tahun lalu merilis album perdana sebagai artis solo.

Cerebro dirilis dalam jumlah terbatas, empat puluh keping, dan mulai dijual pada Selasa (15/1) lalu dengan sistem pemesanan lewat surat elektronik. First come, first serve menjadi metode yang digunakan oleh pihak label rekaman, dengan begitu nomor urut pada CD akan disesuaikan dengan urutan individu yang memesan. Dalam waktu enam jam, album berisi empat lagu tersebut sudah ludes terjual.

Ini merupakan pertama kalinya album Sigmun dijual untuk umum. Sebelumnya, Sigmun hanya pernah merilis demo yang dibagikan untuk kalangan terbatas dan turut serta dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga rilisan Orange Cliff Records berformat piringan hitam.

Soal kemasan, Cerebro menampilkan teknik woodcut untuk bagian lengan album dan disertakan pula bonus poster berukuran A3. Kedua nilai lebih bentuk fisik album Cerebro tersebut dikerjakan oleh rekan para personel Sigmun yang berkuliah di Institut Teknologi Bandung jurusan Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Ada pun empat lagu gubahan vokalis sekaligus gitaris Haikal Azizi, gitaris Nurachman Andhika, bassist Mirfak Prabowo, serta drummer Pratama Kusuma Putra yang tercantum dalam Cerebro masing-masing berjudul “Cerebro”, “The Long Haul”, “Ring of Saturn”, dan “Atom Heart Father”.

Patut digarisbawahi bahwa “The Long Haul” sebelumnya sudah lebih dulu masuk ke dalam three-way split Suri/Sigmun/Jelaga. Hanya saja, yang ada pada Cerebro merupakan versi pendeknya. Sebagai perbandingan, “The Long Haul” pada three-way split memiliki durasi nyaris lima belas menit, sementara pada Cerebro berdurasi lima setengah menit.

Pekan depan, Cerebro juga direncanakan untuk rilis dengan sistem bebas unduh melalui netlabel terkemuka asal Yogyakarta, Yes No Wave Music.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Inilah Daftar Nominasi Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) 2012"

Jakarta - Penghargaan Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) 2012 akan kembali digelar untuk kedua kalinya pada 28 November mendatang di Rolling Stone Live Venue, Jakarta dengan tajuk “Karnaval Musik Indonesia” sebagai perayaan atas kekayaan ragam musik Indonesia.

Diselenggarakan oleh MACS909 dan 7evenotes, penghargaan ICEMA 2012 diberikan kepada segenap musisi Indonesia yang memiliki semangat pembaruan dalam menciptakan karya musik dengan bentuk ekspresi baru lewat penjelajahan musikal yang beraneka ragam sehingga menawarkan pilihan-pilihan baru akan karya musik berkualitas kepada publik di tengah dominasi musik arus utama.

ICEMA 2012 kali ini juga mendapat dukungan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf) karena misi dan program kementerian tersebut sesuai dengan misi yang diemban ICEMA, yaitu mengangkat industri musik independen yang merupakan salah satu wujud kreativitas anak bangsa serta meningkatkan apresiasi juga wawasan terhadap keberagaman musik populer di Indonesia.

Pada Kamis (1/11) siang ini telah diumumkan siapa saja artis-artis yang menjadi nominee ICEMA 2012 sesuai pilihan dewan juri pada lima belas kategori yang ada. Terdapat kesinambungan antara nama-nama yang relatif baru dengan para senior dalam daftar tersebut.

Seperti pada kategori Best Indie Rock Song yang dihuni oleh senior-senior macam Pure Saturday, Polyester Embassy dan BRNDLS serta para pendatang baru seperti A.F.F.E.N., Jirapah dan Denda Omnivora; atau Best Indie Pop Song yang menyertakan White Shoes and the Couples Company dan Hollywood Nobody dengan Munchausen Trilemma, Roman Foot Soldiers, Stars and Rabbit, Winter Issue, dan Swimming Elephants.

Dewan Juri untuk ICEMA 2012 terdiri dari Wendi Putranto dari Rolling Stone Indonesia, Sandra Asteria dari Trax FM, Eric Wiryanata dari Deathrockstar, Denny Sakrie selaku pengamat musik senior, dan David Tarigan yang dikenal sebagai pelaku sekaligus pengamat budaya kontemporer.

Tahun ini ICEMA mengubah sistem pemilihan pemenang untuk beberapa nominasinya, akan ada lebih banyak kategori yang pemenangnya dipilih langsung oleh tim Anggota Suara yang terdiri dari penggiat musik yang tersebar di Jakarta, Bandung, Bogor, Solo, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Bali, Makasar, Medan dan Palembang.

Selain itu, untuk beberapa kategori lainnya seperti Favorite Song, Favorite Group/Band/Duo, Favorite Solo Artist dan Favorite Newcomer penentuan para pemenangnya akan diserahkan kepada khalayak luas melalui voting secara online mulai 1 - 14 November 2012 melalui situs resmi ICEMA 2012.

Sebagai panduan sekaligus memudahkan proses pemungutan suara oleh publik maka seluruh lagu yang dinominasikan untuk tahun ini dapat didengarkan secara penuh di situs resmi ICEMA 2012 di sini.

Berikut adalah daftar lengkap nominasi ICEMA 2012 untuk kategori-kategori terbaik yang dipilih oleh Dewan Juri:

Best Indie Rock Song
Pure Saturday – “Lighthouse”
Polyester Embassy – “Space Travel Rock and Roll”
Morfem – “Pilih Sidang atau Berdamai”
Marcel Thee – “Endless Heart”
Jirapah – “Muto”
Denda Omnivora – “Lagu Perjuangan (feat. The Santo Wild Bren)”
BRNDLS – “Awas Polizei”
Armada Racun – “Amerika”
Amazing in Bed – “Circle (feat. Ajie Gergaji)”
A.F.F.E.N. – “Like Life’s Easily Ended”

Best Rock/Hard Rock Song
The Hydrant – “Shake, Rhythm & Jive”
The Experience Brothers – “She’s Alright”
Sigmun – “Land of the Living Dead”
Seringai – “Tragedi”
Navicula – “Metropolutan”
Komunal – “Gemuruh Musik Pertiwi”
Ginda and the White Flowes – “Do What You Love”
Geeksmile – “Black Blood Green Thunder”
Besok Bubar – “Hati-Hati”
((AUMAN)) – “W.K.G.G.”

Best Indie Pop Song
Hi Mom! – “Semua Menjadi Bara”
White Shoes and the Couples Company – “Matahari”
Stars and Rabbit – “Worth It”
Roman Foot Soldiers – “Street Without Signs”
Payung Teduh – “Angin Pujaan Hujan”
Munchausen Trilemma – “If Loving You is Heartbreaking”
Mind Deer – “Your Heart isn’t Mine but I’m Fine”
Marsh Kids – “Bird Song”
Jude – “Mauku Maumu”
Hightime Rebellion – “Crest of Mind”
Winter Issue – “Bersama Ria”
Tantrum – “De Menejer”
Swimming Elephants – “Sarah”
Hollywood Nobody – “Telescope”

Best Soul/R&B Song
Un Soiree – “I Got Shuss’d”
Midnight Runners – “Midnight Shine”
Jemima – “Paradise”
Bayu Risa – “Percaya (feat. Rayi)”
Dis & That – “Berantakan”

Best Reggae/Ska/Rocksteady Song
Another Project – “What is a Revolution”
Gang Holiday – “Try My Poison”
The Authentics – “Berdansa Selalu (feat. Vicky Shu)”
Sentimental Moods – “Ska Me This, Ska Me That”
Ray D’Sky – “Tak Perlu Sempurna”
Rastaline – “Ingin Tak Ingat Lagi”
Ras Muhamad – “Prosa Tinju Lima Hari”
D’Jenks – “Move On”
Coffee Reggae Stone – “Demon”
Bandung Inikami Orcheska – “Cerah”

Best Punk/Hardcore/Post-Hardcore Song
Inlander – “Bombardir”
The Kuda – “Sex, Alcohol and Ego”
Snickers and the Chicken Fighters – “Generasi Tak Berbudaya”
Serigala Malam – “You Just Don’t - Rolling Stone Indonesia


"Inilah Daftar Nominasi Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) 2012"

Jakarta - Penghargaan Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) 2012 akan kembali digelar untuk kedua kalinya pada 28 November mendatang di Rolling Stone Live Venue, Jakarta dengan tajuk “Karnaval Musik Indonesia” sebagai perayaan atas kekayaan ragam musik Indonesia.

Diselenggarakan oleh MACS909 dan 7evenotes, penghargaan ICEMA 2012 diberikan kepada segenap musisi Indonesia yang memiliki semangat pembaruan dalam menciptakan karya musik dengan bentuk ekspresi baru lewat penjelajahan musikal yang beraneka ragam sehingga menawarkan pilihan-pilihan baru akan karya musik berkualitas kepada publik di tengah dominasi musik arus utama.

ICEMA 2012 kali ini juga mendapat dukungan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf) karena misi dan program kementerian tersebut sesuai dengan misi yang diemban ICEMA, yaitu mengangkat industri musik independen yang merupakan salah satu wujud kreativitas anak bangsa serta meningkatkan apresiasi juga wawasan terhadap keberagaman musik populer di Indonesia.

Pada Kamis (1/11) siang ini telah diumumkan siapa saja artis-artis yang menjadi nominee ICEMA 2012 sesuai pilihan dewan juri pada lima belas kategori yang ada. Terdapat kesinambungan antara nama-nama yang relatif baru dengan para senior dalam daftar tersebut.

Seperti pada kategori Best Indie Rock Song yang dihuni oleh senior-senior macam Pure Saturday, Polyester Embassy dan BRNDLS serta para pendatang baru seperti A.F.F.E.N., Jirapah dan Denda Omnivora; atau Best Indie Pop Song yang menyertakan White Shoes and the Couples Company dan Hollywood Nobody dengan Munchausen Trilemma, Roman Foot Soldiers, Stars and Rabbit, Winter Issue, dan Swimming Elephants.

Dewan Juri untuk ICEMA 2012 terdiri dari Wendi Putranto dari Rolling Stone Indonesia, Sandra Asteria dari Trax FM, Eric Wiryanata dari Deathrockstar, Denny Sakrie selaku pengamat musik senior, dan David Tarigan yang dikenal sebagai pelaku sekaligus pengamat budaya kontemporer.

Tahun ini ICEMA mengubah sistem pemilihan pemenang untuk beberapa nominasinya, akan ada lebih banyak kategori yang pemenangnya dipilih langsung oleh tim Anggota Suara yang terdiri dari penggiat musik yang tersebar di Jakarta, Bandung, Bogor, Solo, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Bali, Makasar, Medan dan Palembang.

Selain itu, untuk beberapa kategori lainnya seperti Favorite Song, Favorite Group/Band/Duo, Favorite Solo Artist dan Favorite Newcomer penentuan para pemenangnya akan diserahkan kepada khalayak luas melalui voting secara online mulai 1 - 14 November 2012 melalui situs resmi ICEMA 2012.

Sebagai panduan sekaligus memudahkan proses pemungutan suara oleh publik maka seluruh lagu yang dinominasikan untuk tahun ini dapat didengarkan secara penuh di situs resmi ICEMA 2012 di sini.

Berikut adalah daftar lengkap nominasi ICEMA 2012 untuk kategori-kategori terbaik yang dipilih oleh Dewan Juri:

Best Indie Rock Song
Pure Saturday – “Lighthouse”
Polyester Embassy – “Space Travel Rock and Roll”
Morfem – “Pilih Sidang atau Berdamai”
Marcel Thee – “Endless Heart”
Jirapah – “Muto”
Denda Omnivora – “Lagu Perjuangan (feat. The Santo Wild Bren)”
BRNDLS – “Awas Polizei”
Armada Racun – “Amerika”
Amazing in Bed – “Circle (feat. Ajie Gergaji)”
A.F.F.E.N. – “Like Life’s Easily Ended”

Best Rock/Hard Rock Song
The Hydrant – “Shake, Rhythm & Jive”
The Experience Brothers – “She’s Alright”
Sigmun – “Land of the Living Dead”
Seringai – “Tragedi”
Navicula – “Metropolutan”
Komunal – “Gemuruh Musik Pertiwi”
Ginda and the White Flowes – “Do What You Love”
Geeksmile – “Black Blood Green Thunder”
Besok Bubar – “Hati-Hati”
((AUMAN)) – “W.K.G.G.”

Best Indie Pop Song
Hi Mom! – “Semua Menjadi Bara”
White Shoes and the Couples Company – “Matahari”
Stars and Rabbit – “Worth It”
Roman Foot Soldiers – “Street Without Signs”
Payung Teduh – “Angin Pujaan Hujan”
Munchausen Trilemma – “If Loving You is Heartbreaking”
Mind Deer – “Your Heart isn’t Mine but I’m Fine”
Marsh Kids – “Bird Song”
Jude – “Mauku Maumu”
Hightime Rebellion – “Crest of Mind”
Winter Issue – “Bersama Ria”
Tantrum – “De Menejer”
Swimming Elephants – “Sarah”
Hollywood Nobody – “Telescope”

Best Soul/R&B Song
Un Soiree – “I Got Shuss’d”
Midnight Runners – “Midnight Shine”
Jemima – “Paradise”
Bayu Risa – “Percaya (feat. Rayi)”
Dis & That – “Berantakan”

Best Reggae/Ska/Rocksteady Song
Another Project – “What is a Revolution”
Gang Holiday – “Try My Poison”
The Authentics – “Berdansa Selalu (feat. Vicky Shu)”
Sentimental Moods – “Ska Me This, Ska Me That”
Ray D’Sky – “Tak Perlu Sempurna”
Rastaline – “Ingin Tak Ingat Lagi”
Ras Muhamad – “Prosa Tinju Lima Hari”
D’Jenks – “Move On”
Coffee Reggae Stone – “Demon”
Bandung Inikami Orcheska – “Cerah”

Best Punk/Hardcore/Post-Hardcore Song
Inlander – “Bombardir”
The Kuda – “Sex, Alcohol and Ego”
Snickers and the Chicken Fighters – “Generasi Tak Berbudaya”
Serigala Malam – “You Just Don’t - Rolling Stone Indonesia


"CD Review: Suri-Sigmun-Jelaga"

Yang perlu dike-tahui dari album three-way split yang dirilis dalam format vinyl ini adalah bahwa band Suri, Sigmun dan Jelaga adalah pengusung api obor pembaharuan dalam kancah musik rock/metal lokal ke arah yang lebih kontemporer. Jelaga, band pertama, memulai dengan “Red Sky”, sebuah nomor yang kental terpengaruh Mastodon yang penuh gemuruh drum hiruk-pikuk dan riff metal yang berat. Sayang, sebagai pembuka, performa vokal Jelaga kurang impresif walau musik yang mengiringi cukup berkualitas. Kemudian datang Suri dengan tiga buah lagu yang digabungkan ke dalam satu buah lagu panjang berjudul “Jacaranda”, berisi nomor-nomor “Syubuh”, ”Policy” dan “Nausea”. Suri tampak benar matang pengetahuan sound soal doom rock. Dengan distorsi gitar yang panjang dan suara vokal serak, Suri bermain sabar, berat, kotor, serta bertempo lambat. Terdengar pengaruh dari Sleep, salah satu jagoan stoner/doom rock Amerika pada musikalitas Suri saat ini. Bila saja saat dunia kiamat dan berakhirnya diiringi “Jacaranda”, dipastikan tujuan berikut umat manusia bukanlah surga. Sigmun, band ketiga, membawakan sebuah nomor eksperimen yang menarik di “The Long Haul” Entah merupakan pesan tersembunyi atau tidak, namun repetisi bagian ber-atmosfer seolah di gurun Meksiko selama enam menit pertama kemudian lanjut ke bagian baru yang berlangsung selama sembilan menit ke depan seolah dibuat istimewa bila ada substansi yang dikonsumsi pendengar lagu ini. Mendengar ketiga band? dan album ini, segar rasanya mengetahui bahwa rock Indonesia kini punya wajah baru: wajah yang tersenyum, serta bermata merah dan sayu karena terlalu lama ‘terbang’ di angkasa. ???
(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"CD Review: Suri-Sigmun-Jelaga"

Yang perlu dike-tahui dari album three-way split yang dirilis dalam format vinyl ini adalah bahwa band Suri, Sigmun dan Jelaga adalah pengusung api obor pembaharuan dalam kancah musik rock/metal lokal ke arah yang lebih kontemporer. Jelaga, band pertama, memulai dengan “Red Sky”, sebuah nomor yang kental terpengaruh Mastodon yang penuh gemuruh drum hiruk-pikuk dan riff metal yang berat. Sayang, sebagai pembuka, performa vokal Jelaga kurang impresif walau musik yang mengiringi cukup berkualitas. Kemudian datang Suri dengan tiga buah lagu yang digabungkan ke dalam satu buah lagu panjang berjudul “Jacaranda”, berisi nomor-nomor “Syubuh”, ”Policy” dan “Nausea”. Suri tampak benar matang pengetahuan sound soal doom rock. Dengan distorsi gitar yang panjang dan suara vokal serak, Suri bermain sabar, berat, kotor, serta bertempo lambat. Terdengar pengaruh dari Sleep, salah satu jagoan stoner/doom rock Amerika pada musikalitas Suri saat ini. Bila saja saat dunia kiamat dan berakhirnya diiringi “Jacaranda”, dipastikan tujuan berikut umat manusia bukanlah surga. Sigmun, band ketiga, membawakan sebuah nomor eksperimen yang menarik di “The Long Haul” Entah merupakan pesan tersembunyi atau tidak, namun repetisi bagian ber-atmosfer seolah di gurun Meksiko selama enam menit pertama kemudian lanjut ke bagian baru yang berlangsung selama sembilan menit ke depan seolah dibuat istimewa bila ada substansi yang dikonsumsi pendengar lagu ini. Mendengar ketiga band? dan album ini, segar rasanya mengetahui bahwa rock Indonesia kini punya wajah baru: wajah yang tersenyum, serta bermata merah dan sayu karena terlalu lama ‘terbang’ di angkasa. ???
(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Album Bersama Suri, Sigmun dan Jelaga Akan Diluncurkan di Alam Terbuka"

Bandung - Setelah tertunda karena proses produksi yang membutuhkan waktu lebih lama dari rencana, three-way split berformat piringan hitam 12 inci rilisan label rekaman independen anyar Orange Cliff antara Suri, Sigmun dan Jelaga telah dipastikan akan diluncurkan pada 29 September 2012 mendatang.

Pesta peluncuran itu akan menyuguhkan penampilan ketiga band tersebut secara live di alam terbuka. Bertajuk From the Misty Mountain Top, Suri, Sigmun dan Jelaga siap menggelar showcase di salah satu titik tertinggi Bandung Utara, yaitu Bukit Moko, dengan pemandangan alam kota Bandung sebagai latar.

Seperti dibeberkan oleh Anindito Ariwandono selaku salah satu pemilik Orange Cliff Records, Suri, Sigmun dan Jelaga masing-masing akan tampil selama satu jam. Acaranya sendiri direncanakan untuk mulai pukul 18.00 hingga 21.00 WIB. Tidak dikenakan biaya sepeser pun untuk dapat menikmati penampilan ketiga band tersebut nantinya.

Untuk konten dari three-way split ini, semuanya belum pernah dirilis ke khalayak ramai oleh pihak band sebelumnya. Jelaga menyumbangkan “War Song” dan “Red Sky”, Sigmun mencantumkan “The Long Haul” yang berdurasi lima belas menit, serta Suri mendaftarkan satu album mini bertajuk Jacaranda yang diisi dengan tiga lagu, yaitu “Syubuh”, “Policy”, dan “Nausea”.

Proses mixing untuk sepasang lagu Jelaga dilakukan oleh Barlian Yoga dan Sutan Antonius, sementara materi-materi dari Sigmun dan Suri di-mixing oleh Wing Narada Putra yang juga dikenal dengan proyek musiknya, Maverick. Mastering untuk semua materi dilakukan oleh Wolfgang Muller dan pressing dilakukan di Jerman. Untuk artwork, Orange Cliff Records menggandeng vokalis dan bassist Rajasinga, Indra “Morrg” Wirawan.

Patut digarisbawahi bahwa album Suri/Sigmun/Jelaga ini hanya akan dicetak sebanyak 100 keping dalam format piringan hitam kelas berat 180 gram.

Selain Dito, panggilan akrab Anindito Ariwandono, Orange Cliff Records juga dimiliki oleh empat pemuda lain. Tujuan dibentuknya label rekaman ini adalah ingin ikut berkontribusi merilis band-band yang mereka sukai secara pribadi. Pilihan kelima pemiliknya untuk bermain di format piringan hitam didasari oleh rasa penasaran ingin melihat band-band tertentu merilis materi melalui medium tersebut.

Orange Cliff Records menonjolkan nilai collectibility lewat rilisan-rilisan mereka dan sekaligus membangun branding yang kuat lewat artwork, visual, dan pendekatan yang diambil. Mereka juga mengaku tidak terpaku dalam satu jenis musik saja.

Berikut adalah susunan lagu pada three-way split Suri/Sigmun/Jelaga:

SIDE A
Jelaga – “Red Sky”
Suri – “Syubuh”
Suri – “Policy”
Suri – “Nausea”

SIDE B
Sigmun – “The Long Haul”
Jelaga – “War Song”

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Album Bersama Suri, Sigmun dan Jelaga Akan Diluncurkan di Alam Terbuka"

Bandung - Setelah tertunda karena proses produksi yang membutuhkan waktu lebih lama dari rencana, three-way split berformat piringan hitam 12 inci rilisan label rekaman independen anyar Orange Cliff antara Suri, Sigmun dan Jelaga telah dipastikan akan diluncurkan pada 29 September 2012 mendatang.

Pesta peluncuran itu akan menyuguhkan penampilan ketiga band tersebut secara live di alam terbuka. Bertajuk From the Misty Mountain Top, Suri, Sigmun dan Jelaga siap menggelar showcase di salah satu titik tertinggi Bandung Utara, yaitu Bukit Moko, dengan pemandangan alam kota Bandung sebagai latar.

Seperti dibeberkan oleh Anindito Ariwandono selaku salah satu pemilik Orange Cliff Records, Suri, Sigmun dan Jelaga masing-masing akan tampil selama satu jam. Acaranya sendiri direncanakan untuk mulai pukul 18.00 hingga 21.00 WIB. Tidak dikenakan biaya sepeser pun untuk dapat menikmati penampilan ketiga band tersebut nantinya.

Untuk konten dari three-way split ini, semuanya belum pernah dirilis ke khalayak ramai oleh pihak band sebelumnya. Jelaga menyumbangkan “War Song” dan “Red Sky”, Sigmun mencantumkan “The Long Haul” yang berdurasi lima belas menit, serta Suri mendaftarkan satu album mini bertajuk Jacaranda yang diisi dengan tiga lagu, yaitu “Syubuh”, “Policy”, dan “Nausea”.

Proses mixing untuk sepasang lagu Jelaga dilakukan oleh Barlian Yoga dan Sutan Antonius, sementara materi-materi dari Sigmun dan Suri di-mixing oleh Wing Narada Putra yang juga dikenal dengan proyek musiknya, Maverick. Mastering untuk semua materi dilakukan oleh Wolfgang Muller dan pressing dilakukan di Jerman. Untuk artwork, Orange Cliff Records menggandeng vokalis dan bassist Rajasinga, Indra “Morrg” Wirawan.

Patut digarisbawahi bahwa album Suri/Sigmun/Jelaga ini hanya akan dicetak sebanyak 100 keping dalam format piringan hitam kelas berat 180 gram.

Selain Dito, panggilan akrab Anindito Ariwandono, Orange Cliff Records juga dimiliki oleh empat pemuda lain. Tujuan dibentuknya label rekaman ini adalah ingin ikut berkontribusi merilis band-band yang mereka sukai secara pribadi. Pilihan kelima pemiliknya untuk bermain di format piringan hitam didasari oleh rasa penasaran ingin melihat band-band tertentu merilis materi melalui medium tersebut.

Orange Cliff Records menonjolkan nilai collectibility lewat rilisan-rilisan mereka dan sekaligus membangun branding yang kuat lewat artwork, visual, dan pendekatan yang diambil. Mereka juga mengaku tidak terpaku dalam satu jenis musik saja.

Berikut adalah susunan lagu pada three-way split Suri/Sigmun/Jelaga:

SIDE A
Jelaga – “Red Sky”
Suri – “Syubuh”
Suri – “Policy”
Suri – “Nausea”

SIDE B
Sigmun – “The Long Haul”
Jelaga – “War Song”

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Suri, Sigmun dan Jelaga Akan Rilis Album Bersama dalam Format Piringan Hitam"

Jakarta - Tiga band buas nan berbahaya yang memiliki karakter musik mereka masing-masing, Suri, Sigmun dan Jelaga, akan merilis album three-way splitdalam format piringan hitam 12 inci di bawah naungan label rekaman independen anyar Orange Cliff Records.

Kepastian kabar tersebut didapat langsung dari salah satu pemilik Orange Cliff Records yang juga merupakan manajer Sigmun, Anindito Ariwandono. Diwawancara Rolling Stone, Dito, panggilan akrabnya, menjelaskan: “Kami memang akan merilis three-way split Suri, Sigmun dan Jelaga. Penggarapannya cukup lama, sudah dari awal 2012, namun banyak waktu terbuang karena rekamannya lama dan ditambah lagi dengan revisi-revisi hasil mixing, jadi saling menunggu. Jelaga paling cepat selesai, disusul Suri dan lalu Sigmun. Sigmun paling lama karena rekamannya nggak di studio.”

Suri, Sigmun dan Jelaga dipilih karena alasan yang sederhana, yaitu karena pihak Orange Cliff Records sangat menyukai ketiga band tersebut dan kebetulan memang berencana untuk merilis split pada medium lain sebelum ditarik label rekaman yang berkonsentrasi di piringan hitam ini.

Untuk konten dari three-way split ini, semuanya belum pernah dirilis ke khalayak ramai oleh pihak band sebelumnya. Jelaga menyumbangkan “War Song” dan “Red Sky”, Sigmun mencantumkan “The Long Haul” yang berdurasi lima belas menit, serta Suri mendaftarkan satu album mini bertajuk Jacaranda yang diisi dengan tiga lagu, yaitu “Syubuh”, “Policy”, dan “Nausea”.

Proses mixing untuk sepasang lagu Jelaga dilakukan oleh Barlian Yoga dan Sutan Antonius, sementara materi-materi dari Sigmun dan Suri di-mixing oleh Wing Narada Putra yang juga dikenal dengan proyek musiknya, Maverick. Mastering untuk semua materi dilakukan oleh Wolfgang Muller dan pressing dilakukan di Jerman. Untuk artwork, Orange Cliff Records telah menggandeng vokalis dan bassist Rajasinga, Indra “Morrg” Wirawan.

Three-way split ini direncanakan untuk rilis setelah bulan puasa, sekitar Agustus 2012, dengan sistem mail order dan buka lapak saat band yang turut serta sedang tampil. Album hanya akan dicetak sebanyak 100 kopi dalam format piringan hitam 180 gram.

Orange Cliff Records juga sedang menyiapkan pesta peluncuran album yang tidak biasa. Dito membeberkan, “Rencananya akan digelar di pinggir pantai, secara harfiahdipinggir pantai dan bukan panggung yang dekat pantai. Semoga tidak ada kendala, sekarang kami sedang cari tempat-tempat yang sesuai dan enak.”

Selain Dito, Orange Cliff Records juga dimiliki oleh empat pemuda lain. Tujuan dibentuknya label rekaman ini adalah ingin ikut berkontribusi merilis band-band yang mereka sukai secara personal. Pilihan kelima pemiliknya untuk bermain di format piringan hitam didasari oleh rasa penasaran ingin melihat band-band tertentu merilis materi melalui medium tersebut.

Orange Cliff Records menonjolkan nilai collectibility lewat rilisan-rilisan mereka dan sekaligus membangun branding yang kuat lewat artwork, visual, dan pendekatan yang diambil. “Mudah-mudahan terealisasi,” imbuh Dito lagi.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Suri, Sigmun dan Jelaga Akan Rilis Album Bersama dalam Format Piringan Hitam"

Jakarta - Tiga band buas nan berbahaya yang memiliki karakter musik mereka masing-masing, Suri, Sigmun dan Jelaga, akan merilis album three-way splitdalam format piringan hitam 12 inci di bawah naungan label rekaman independen anyar Orange Cliff Records.

Kepastian kabar tersebut didapat langsung dari salah satu pemilik Orange Cliff Records yang juga merupakan manajer Sigmun, Anindito Ariwandono. Diwawancara Rolling Stone, Dito, panggilan akrabnya, menjelaskan: “Kami memang akan merilis three-way split Suri, Sigmun dan Jelaga. Penggarapannya cukup lama, sudah dari awal 2012, namun banyak waktu terbuang karena rekamannya lama dan ditambah lagi dengan revisi-revisi hasil mixing, jadi saling menunggu. Jelaga paling cepat selesai, disusul Suri dan lalu Sigmun. Sigmun paling lama karena rekamannya nggak di studio.”

Suri, Sigmun dan Jelaga dipilih karena alasan yang sederhana, yaitu karena pihak Orange Cliff Records sangat menyukai ketiga band tersebut dan kebetulan memang berencana untuk merilis split pada medium lain sebelum ditarik label rekaman yang berkonsentrasi di piringan hitam ini.

Untuk konten dari three-way split ini, semuanya belum pernah dirilis ke khalayak ramai oleh pihak band sebelumnya. Jelaga menyumbangkan “War Song” dan “Red Sky”, Sigmun mencantumkan “The Long Haul” yang berdurasi lima belas menit, serta Suri mendaftarkan satu album mini bertajuk Jacaranda yang diisi dengan tiga lagu, yaitu “Syubuh”, “Policy”, dan “Nausea”.

Proses mixing untuk sepasang lagu Jelaga dilakukan oleh Barlian Yoga dan Sutan Antonius, sementara materi-materi dari Sigmun dan Suri di-mixing oleh Wing Narada Putra yang juga dikenal dengan proyek musiknya, Maverick. Mastering untuk semua materi dilakukan oleh Wolfgang Muller dan pressing dilakukan di Jerman. Untuk artwork, Orange Cliff Records telah menggandeng vokalis dan bassist Rajasinga, Indra “Morrg” Wirawan.

Three-way split ini direncanakan untuk rilis setelah bulan puasa, sekitar Agustus 2012, dengan sistem mail order dan buka lapak saat band yang turut serta sedang tampil. Album hanya akan dicetak sebanyak 100 kopi dalam format piringan hitam 180 gram.

Orange Cliff Records juga sedang menyiapkan pesta peluncuran album yang tidak biasa. Dito membeberkan, “Rencananya akan digelar di pinggir pantai, secara harfiahdipinggir pantai dan bukan panggung yang dekat pantai. Semoga tidak ada kendala, sekarang kami sedang cari tempat-tempat yang sesuai dan enak.”

Selain Dito, Orange Cliff Records juga dimiliki oleh empat pemuda lain. Tujuan dibentuknya label rekaman ini adalah ingin ikut berkontribusi merilis band-band yang mereka sukai secara personal. Pilihan kelima pemiliknya untuk bermain di format piringan hitam didasari oleh rasa penasaran ingin melihat band-band tertentu merilis materi melalui medium tersebut.

Orange Cliff Records menonjolkan nilai collectibility lewat rilisan-rilisan mereka dan sekaligus membangun branding yang kuat lewat artwork, visual, dan pendekatan yang diambil. “Mudah-mudahan terealisasi,” imbuh Dito lagi.

(RS/RS) - Rolling Stone Indonesia


"Lengkingan Sigmun yang Kian Bergaung"

Lampu sorot karena kesuksesan film “The Raid” tidak hanya mengarah pada sutradara dan pemainnya saja namun juga pada sebuah band asal Bandung bernama Sigmun yang lagunya dapat didengar di ujung film.

Sigmun adalah band baru yang belum merilis album rekaman. Selain karena film The Raid, Sigmun mulai menarik perhatian banyak orang karena keaslian musik rock yang mereka bawakan.

Musik rock Sigmun ini seperti musik rock tahun ’70-an dengan elemen psychedelic dan blues yang cukup kental. Nuansa musik rock tersebut semakin terasa saat mendengar suara sang vokalis, Haikal yang melengking tinggi layaknya suara vokalis Led Zeppelin, Robert Plant.

Yahoo! Indonesia berbicara dengan band Sigmun yang beranggotakan Haikal Azizi (vokal, gitar) Nurachman Andhika (gitar), Mirfak Prabowo (bas) dan Pratama Kusuma Putra (drum).

Bagaimana kalian mendeskripsikan sendiri musik Sigmun untuk orang yang sama sekali belum mendengar kalian?
Haikal: Kami sering semena-mena menyebutkan genre omong kosong seperti Freud blues rock, surrealist rock dan sebagainya. Tapi mungkin psychedelic rock yang paling representatif. Heavy barokah! Hidup rock petir! *tertawa*

Suasana seperti apa atau panggung seperti yang paling tepat untuk Sigmun?
Haikal: Yang intim gelap, dekat dan bau keringat. *tertawa* Kami belum pernah main di panggung ukuran besar jadi nggak tahu juga bagaimana sensasinya. Tapi sejauh ini yang berkesan panggung-panggung di event Superbad, Studiorama, Rossi atau Rrrec Fest di Fooftop.

Bisa diceritakan proses awalnya kalian terlibat dalam “The Raid”? Sempat ada revisi dari sutradara atau produser film tersebut?
Haikal: Tawaran itu sebenarnya datang dari Rekti The S.I.G.I.T. Waktu itu kami sedang mengerjakan rekaman bersama Rekti. Jadi sekalian saja proyek itu kami kerjakan bersama. Uang yang didapat dari film itu kami gunakan untuk biaya rekaman. Saat pengerjaan lagu, revisi dari pihak produser film hanya sebatas di hasil mixing lagu.

Seberapa dekat hubungan kalian dengan Rekti The S.I.G.I.T?
Haikal: Sebenarnya yang bersangkutan tidak mau namanya disebutkan tapi ya sudahlah. Lagu OST The Raid itu buatan Rekti namun liriknya kami kerjakan bersama. Materi dasar dari dia. Bahkan Rekti juga ikut mengisi vokal.

Bagaimana imbas film The Raid untuk kalian hingga sejauh ini? Ada label musik yang sudah tertarik?
Haikal: Lumayan, kami sering mendapat mention di Twitter. Beberapa yang memang tertarik jadi mencari lagu-lagu kami yang lain. Sejauh ini sudah ada beberapa label yang mengajak kerjasama. Diantaranya Cactus Records dari Malaysia yang nanti bakal merilis EP kami dan Orange Cliff dari BSD yang akan merilis split album kami bareng band Suri dan Jelaga. Tapi dua label tersebut sudah menawarkan sebelum “The Raid” tayang.

Rencana rilis album kapan? Sudah sampai mana prosesnya?
Haikal: Album penuh belum sempat kami kerjakan. Karena masih sibuk dengan berbagai rilisan lain seperti bulan depan kami akan rilis EP yang merupakan re-master dari lagu-lagu sampel kami yang sebelumnya sudah kami upload di Internet. Dan di bulan Juni, cuplikan album kami dengan band Suri dan Jelaga akan dirilis dalam format vinyl. Setelah semua beres, baru kami mulai mengerjakan album penuh. - Yahoo! Indonesia


"Lengkingan Sigmun yang Kian Bergaung"

Lampu sorot karena kesuksesan film “The Raid” tidak hanya mengarah pada sutradara dan pemainnya saja namun juga pada sebuah band asal Bandung bernama Sigmun yang lagunya dapat didengar di ujung film.

Sigmun adalah band baru yang belum merilis album rekaman. Selain karena film The Raid, Sigmun mulai menarik perhatian banyak orang karena keaslian musik rock yang mereka bawakan.

Musik rock Sigmun ini seperti musik rock tahun ’70-an dengan elemen psychedelic dan blues yang cukup kental. Nuansa musik rock tersebut semakin terasa saat mendengar suara sang vokalis, Haikal yang melengking tinggi layaknya suara vokalis Led Zeppelin, Robert Plant.

Yahoo! Indonesia berbicara dengan band Sigmun yang beranggotakan Haikal Azizi (vokal, gitar) Nurachman Andhika (gitar), Mirfak Prabowo (bas) dan Pratama Kusuma Putra (drum).

Bagaimana kalian mendeskripsikan sendiri musik Sigmun untuk orang yang sama sekali belum mendengar kalian?
Haikal: Kami sering semena-mena menyebutkan genre omong kosong seperti Freud blues rock, surrealist rock dan sebagainya. Tapi mungkin psychedelic rock yang paling representatif. Heavy barokah! Hidup rock petir! *tertawa*

Suasana seperti apa atau panggung seperti yang paling tepat untuk Sigmun?
Haikal: Yang intim gelap, dekat dan bau keringat. *tertawa* Kami belum pernah main di panggung ukuran besar jadi nggak tahu juga bagaimana sensasinya. Tapi sejauh ini yang berkesan panggung-panggung di event Superbad, Studiorama, Rossi atau Rrrec Fest di Fooftop.

Bisa diceritakan proses awalnya kalian terlibat dalam “The Raid”? Sempat ada revisi dari sutradara atau produser film tersebut?
Haikal: Tawaran itu sebenarnya datang dari Rekti The S.I.G.I.T. Waktu itu kami sedang mengerjakan rekaman bersama Rekti. Jadi sekalian saja proyek itu kami kerjakan bersama. Uang yang didapat dari film itu kami gunakan untuk biaya rekaman. Saat pengerjaan lagu, revisi dari pihak produser film hanya sebatas di hasil mixing lagu.

Seberapa dekat hubungan kalian dengan Rekti The S.I.G.I.T?
Haikal: Sebenarnya yang bersangkutan tidak mau namanya disebutkan tapi ya sudahlah. Lagu OST The Raid itu buatan Rekti namun liriknya kami kerjakan bersama. Materi dasar dari dia. Bahkan Rekti juga ikut mengisi vokal.

Bagaimana imbas film The Raid untuk kalian hingga sejauh ini? Ada label musik yang sudah tertarik?
Haikal: Lumayan, kami sering mendapat mention di Twitter. Beberapa yang memang tertarik jadi mencari lagu-lagu kami yang lain. Sejauh ini sudah ada beberapa label yang mengajak kerjasama. Diantaranya Cactus Records dari Malaysia yang nanti bakal merilis EP kami dan Orange Cliff dari BSD yang akan merilis split album kami bareng band Suri dan Jelaga. Tapi dua label tersebut sudah menawarkan sebelum “The Raid” tayang.

Rencana rilis album kapan? Sudah sampai mana prosesnya?
Haikal: Album penuh belum sempat kami kerjakan. Karena masih sibuk dengan berbagai rilisan lain seperti bulan depan kami akan rilis EP yang merupakan re-master dari lagu-lagu sampel kami yang sebelumnya sudah kami upload di Internet. Dan di bulan Juni, cuplikan album kami dengan band Suri dan Jelaga akan dirilis dalam format vinyl. Setelah semua beres, baru kami mulai mengerjakan album penuh. - Yahoo! Indonesia


"Lengkingan Sigmun yang Kian Bergaung"

Lampu sorot karena kesuksesan film “The Raid” tidak hanya mengarah pada sutradara dan pemainnya saja namun juga pada sebuah band asal Bandung bernama Sigmun yang lagunya dapat didengar di ujung film.

Sigmun adalah band baru yang belum merilis album rekaman. Selain karena film The Raid, Sigmun mulai menarik perhatian banyak orang karena keaslian musik rock yang mereka bawakan.

Musik rock Sigmun ini seperti musik rock tahun ’70-an dengan elemen psychedelic dan blues yang cukup kental. Nuansa musik rock tersebut semakin terasa saat mendengar suara sang vokalis, Haikal yang melengking tinggi layaknya suara vokalis Led Zeppelin, Robert Plant.

Yahoo! Indonesia berbicara dengan band Sigmun yang beranggotakan Haikal Azizi (vokal, gitar) Nurachman Andhika (gitar), Mirfak Prabowo (bas) dan Pratama Kusuma Putra (drum).

Bagaimana kalian mendeskripsikan sendiri musik Sigmun untuk orang yang sama sekali belum mendengar kalian?
Haikal: Kami sering semena-mena menyebutkan genre omong kosong seperti Freud blues rock, surrealist rock dan sebagainya. Tapi mungkin psychedelic rock yang paling representatif. Heavy barokah! Hidup rock petir! *tertawa*

Suasana seperti apa atau panggung seperti yang paling tepat untuk Sigmun?
Haikal: Yang intim gelap, dekat dan bau keringat. *tertawa* Kami belum pernah main di panggung ukuran besar jadi nggak tahu juga bagaimana sensasinya. Tapi sejauh ini yang berkesan panggung-panggung di event Superbad, Studiorama, Rossi atau Rrrec Fest di Fooftop.

Bisa diceritakan proses awalnya kalian terlibat dalam “The Raid”? Sempat ada revisi dari sutradara atau produser film tersebut?
Haikal: Tawaran itu sebenarnya datang dari Rekti The S.I.G.I.T. Waktu itu kami sedang mengerjakan rekaman bersama Rekti. Jadi sekalian saja proyek itu kami kerjakan bersama. Uang yang didapat dari film itu kami gunakan untuk biaya rekaman. Saat pengerjaan lagu, revisi dari pihak produser film hanya sebatas di hasil mixing lagu.

Seberapa dekat hubungan kalian dengan Rekti The S.I.G.I.T?
Haikal: Sebenarnya yang bersangkutan tidak mau namanya disebutkan tapi ya sudahlah. Lagu OST The Raid itu buatan Rekti namun liriknya kami kerjakan bersama. Materi dasar dari dia. Bahkan Rekti juga ikut mengisi vokal.

Bagaimana imbas film The Raid untuk kalian hingga sejauh ini? Ada label musik yang sudah tertarik?
Haikal: Lumayan, kami sering mendapat mention di Twitter. Beberapa yang memang tertarik jadi mencari lagu-lagu kami yang lain. Sejauh ini sudah ada beberapa label yang mengajak kerjasama. Diantaranya Cactus Records dari Malaysia yang nanti bakal merilis EP kami dan Orange Cliff dari BSD yang akan merilis split album kami bareng band Suri dan Jelaga. Tapi dua label tersebut sudah menawarkan sebelum “The Raid” tayang.

Rencana rilis album kapan? Sudah sampai mana prosesnya?
Haikal: Album penuh belum sempat kami kerjakan. Karena masih sibuk dengan berbagai rilisan lain seperti bulan depan kami akan rilis EP yang merupakan re-master dari lagu-lagu sampel kami yang sebelumnya sudah kami upload di Internet. Dan di bulan Juni, cuplikan album kami dengan band Suri dan Jelaga akan dirilis dalam format vinyl. Setelah semua beres, baru kami mulai mengerjakan album penuh. - Yahoo! Indonesia


"Lengkingan Sigmun yang Kian Bergaung"

Lampu sorot karena kesuksesan film “The Raid” tidak hanya mengarah pada sutradara dan pemainnya saja namun juga pada sebuah band asal Bandung bernama Sigmun yang lagunya dapat didengar di ujung film.

Sigmun adalah band baru yang belum merilis album rekaman. Selain karena film The Raid, Sigmun mulai menarik perhatian banyak orang karena keaslian musik rock yang mereka bawakan.

Musik rock Sigmun ini seperti musik rock tahun ’70-an dengan elemen psychedelic dan blues yang cukup kental. Nuansa musik rock tersebut semakin terasa saat mendengar suara sang vokalis, Haikal yang melengking tinggi layaknya suara vokalis Led Zeppelin, Robert Plant.

Yahoo! Indonesia berbicara dengan band Sigmun yang beranggotakan Haikal Azizi (vokal, gitar) Nurachman Andhika (gitar), Mirfak Prabowo (bas) dan Pratama Kusuma Putra (drum).

Bagaimana kalian mendeskripsikan sendiri musik Sigmun untuk orang yang sama sekali belum mendengar kalian?
Haikal: Kami sering semena-mena menyebutkan genre omong kosong seperti Freud blues rock, surrealist rock dan sebagainya. Tapi mungkin psychedelic rock yang paling representatif. Heavy barokah! Hidup rock petir! *tertawa*

Suasana seperti apa atau panggung seperti yang paling tepat untuk Sigmun?
Haikal: Yang intim gelap, dekat dan bau keringat. *tertawa* Kami belum pernah main di panggung ukuran besar jadi nggak tahu juga bagaimana sensasinya. Tapi sejauh ini yang berkesan panggung-panggung di event Superbad, Studiorama, Rossi atau Rrrec Fest di Fooftop.

Bisa diceritakan proses awalnya kalian terlibat dalam “The Raid”? Sempat ada revisi dari sutradara atau produser film tersebut?
Haikal: Tawaran itu sebenarnya datang dari Rekti The S.I.G.I.T. Waktu itu kami sedang mengerjakan rekaman bersama Rekti. Jadi sekalian saja proyek itu kami kerjakan bersama. Uang yang didapat dari film itu kami gunakan untuk biaya rekaman. Saat pengerjaan lagu, revisi dari pihak produser film hanya sebatas di hasil mixing lagu.

Seberapa dekat hubungan kalian dengan Rekti The S.I.G.I.T?
Haikal: Sebenarnya yang bersangkutan tidak mau namanya disebutkan tapi ya sudahlah. Lagu OST The Raid itu buatan Rekti namun liriknya kami kerjakan bersama. Materi dasar dari dia. Bahkan Rekti juga ikut mengisi vokal.

Bagaimana imbas film The Raid untuk kalian hingga sejauh ini? Ada label musik yang sudah tertarik?
Haikal: Lumayan, kami sering mendapat mention di Twitter. Beberapa yang memang tertarik jadi mencari lagu-lagu kami yang lain. Sejauh ini sudah ada beberapa label yang mengajak kerjasama. Diantaranya Cactus Records dari Malaysia yang nanti bakal merilis EP kami dan Orange Cliff dari BSD yang akan merilis split album kami bareng band Suri dan Jelaga. Tapi dua label tersebut sudah menawarkan sebelum “The Raid” tayang.

Rencana rilis album kapan? Sudah sampai mana prosesnya?
Haikal: Album penuh belum sempat kami kerjakan. Karena masih sibuk dengan berbagai rilisan lain seperti bulan depan kami akan rilis EP yang merupakan re-master dari lagu-lagu sampel kami yang sebelumnya sudah kami upload di Internet. Dan di bulan Juni, cuplikan album kami dengan band Suri dan Jelaga akan dirilis dalam format vinyl. Setelah semua beres, baru kami mulai mengerjakan album penuh. - Yahoo! Indonesia


"Suri, Sigmun dan Jelaga Akan Rilis Album Bersama dalam Format Piringan Hitam D"

Jakarta - Tiga band buas nan berbahaya yang memiliki karakter musik mereka masing-masing, Suri, Sigmun dan Jelaga, akan merilis album three-way splitdalam format piringan hitam 12 inci di bawah naungan label rekaman independen anyar Orange Cliff Records.

Kepastian kabar tersebut didapat langsung dari salah satu pemilik Orange Cliff Records yang juga merupakan manajer Sigmun, Anindito Ariwandono. Diwawancara Rolling Stone, Dito, panggilan akrabnya, menjelaskan: “Kami memang akan merilis three-way split Suri, Sigmun dan Jelaga. Penggarapannya cukup lama, sudah dari awal 2012, namun banyak waktu terbuang karena rekamannya lama dan ditambah lagi dengan revisi-revisi hasil mixing, jadi saling menunggu. Jelaga paling cepat selesai, disusul Suri dan lalu Sigmun. Sigmun paling lama karena rekamannya nggak di studio.”

Suri, Sigmun dan Jelaga dipilih karena alasan yang sederhana, yaitu karena pihak Orange Cliff Records sangat menyukai ketiga band tersebut dan kebetulan memang berencana untuk merilis split pada medium lain sebelum ditarik label rekaman yang berkonsentrasi di piringan hitam ini.

Untuk konten dari three-way split ini, semuanya belum pernah dirilis ke khalayak ramai oleh pihak band sebelumnya. Jelaga menyumbangkan “War Song” dan “Red Sky”, Sigmun mencantumkan “The Long Haul” yang berdurasi lima belas menit, serta Suri mendaftarkan satu album mini bertajuk Jacaranda yang diisi dengan tiga lagu, yaitu “Syubuh”, “Policy”, dan “Nausea”.

Proses mixing untuk sepasang lagu Jelaga dilakukan oleh Barlian Yoga dan Sutan Antonius, sementara materi-materi dari Sigmun dan Suri di-mixing oleh Wing Narada Putra yang juga dikenal dengan proyek musiknya, Maverick. Mastering untuk semua materi dilakukan oleh Wolfgang Muller dan pressing dilakukan di Jerman. Untuk artwork, Orange Cliff Records telah menggandeng vokalis dan bassist Rajasinga, Indra “Morrg” Wirawan.

Three-way split ini direncanakan untuk rilis setelah bulan puasa, sekitar Agustus 2012, dengan sistem mail order dan buka lapak saat band yang turut serta sedang tampil. Album hanya akan dicetak sebanyak 100 kopi dalam format piringan hitam 180 gram.

Orange Cliff Records juga sedang menyiapkan pesta peluncuran album yang tidak biasa. Dito membeberkan, “Rencananya akan digelar di pinggir pantai, secara harfiahdipinggir pantai dan bukan panggung yang dekat pantai. Semoga tidak ada kendala, sekarang kami sedang cari tempat-tempat yang sesuai dan enak.”

Selain Dito, Orange Cliff Records juga dimiliki oleh empat pemuda lain. Tujuan dibentuknya label rekaman ini adalah ingin ikut berkontribusi merilis band-band yang mereka sukai secara personal. Pilihan kelima pemiliknya untuk bermain di format piringan hitam didasari oleh rasa penasaran ingin melihat band-band tertentu merilis materi melalui medium tersebut.

Orange Cliff Records menonjolkan nilai collectibility lewat rilisan-rilisan mereka dan sekaligus membangun branding yang kuat lewat artwork, visual, dan pendekatan yang diambil. “Mudah-mudahan terealisasi,” imbuh Dito lagi. - Rolling Stone Indonesia


"Suri, Sigmun dan Jelaga Akan Rilis Album Bersama dalam Format Piringan Hitam D"

Jakarta - Tiga band buas nan berbahaya yang memiliki karakter musik mereka masing-masing, Suri, Sigmun dan Jelaga, akan merilis album three-way splitdalam format piringan hitam 12 inci di bawah naungan label rekaman independen anyar Orange Cliff Records.

Kepastian kabar tersebut didapat langsung dari salah satu pemilik Orange Cliff Records yang juga merupakan manajer Sigmun, Anindito Ariwandono. Diwawancara Rolling Stone, Dito, panggilan akrabnya, menjelaskan: “Kami memang akan merilis three-way split Suri, Sigmun dan Jelaga. Penggarapannya cukup lama, sudah dari awal 2012, namun banyak waktu terbuang karena rekamannya lama dan ditambah lagi dengan revisi-revisi hasil mixing, jadi saling menunggu. Jelaga paling cepat selesai, disusul Suri dan lalu Sigmun. Sigmun paling lama karena rekamannya nggak di studio.”

Suri, Sigmun dan Jelaga dipilih karena alasan yang sederhana, yaitu karena pihak Orange Cliff Records sangat menyukai ketiga band tersebut dan kebetulan memang berencana untuk merilis split pada medium lain sebelum ditarik label rekaman yang berkonsentrasi di piringan hitam ini.

Untuk konten dari three-way split ini, semuanya belum pernah dirilis ke khalayak ramai oleh pihak band sebelumnya. Jelaga menyumbangkan “War Song” dan “Red Sky”, Sigmun mencantumkan “The Long Haul” yang berdurasi lima belas menit, serta Suri mendaftarkan satu album mini bertajuk Jacaranda yang diisi dengan tiga lagu, yaitu “Syubuh”, “Policy”, dan “Nausea”.

Proses mixing untuk sepasang lagu Jelaga dilakukan oleh Barlian Yoga dan Sutan Antonius, sementara materi-materi dari Sigmun dan Suri di-mixing oleh Wing Narada Putra yang juga dikenal dengan proyek musiknya, Maverick. Mastering untuk semua materi dilakukan oleh Wolfgang Muller dan pressing dilakukan di Jerman. Untuk artwork, Orange Cliff Records telah menggandeng vokalis dan bassist Rajasinga, Indra “Morrg” Wirawan.

Three-way split ini direncanakan untuk rilis setelah bulan puasa, sekitar Agustus 2012, dengan sistem mail order dan buka lapak saat band yang turut serta sedang tampil. Album hanya akan dicetak sebanyak 100 kopi dalam format piringan hitam 180 gram.

Orange Cliff Records juga sedang menyiapkan pesta peluncuran album yang tidak biasa. Dito membeberkan, “Rencananya akan digelar di pinggir pantai, secara harfiahdipinggir pantai dan bukan panggung yang dekat pantai. Semoga tidak ada kendala, sekarang kami sedang cari tempat-tempat yang sesuai dan enak.”

Selain Dito, Orange Cliff Records juga dimiliki oleh empat pemuda lain. Tujuan dibentuknya label rekaman ini adalah ingin ikut berkontribusi merilis band-band yang mereka sukai secara personal. Pilihan kelima pemiliknya untuk bermain di format piringan hitam didasari oleh rasa penasaran ingin melihat band-band tertentu merilis materi melalui medium tersebut.

Orange Cliff Records menonjolkan nilai collectibility lewat rilisan-rilisan mereka dan sekaligus membangun branding yang kuat lewat artwork, visual, dan pendekatan yang diambil. “Mudah-mudahan terealisasi,” imbuh Dito lagi. - Rolling Stone Indonesia


"Sigmun, Band Belia Potensial yang Menutup Film The Raid dengan Letupan"

Jakarta - Jika Anda sudah menyaksikan The Raid, film Indonesia kedua sutradara berdarah Wales, Gareth Evans, terdapat sebuah lagu rock beringas yang mulai diputar pada scene terakhir film tersebut dan lalu berlanjut mengiringi gulungan kredit penutup.

Seakan aksi pertarungan menegangkan yang tercecer di The Raid ditakutkan belum dapat memuaskan audiens, lagu berjudul “The Raid” ini diluncurkan guna membuat film yang bercerita soal penyergapan markas kriminal kelas kakap ini berakhir dengan letupan.

Adalah kuartet penyembah rock ala Led Zeppelin dan Black Sabbath bernama Sigmun yang bertanggung jawab atas lagu tema tersebut. Didirikan pertama kali pada 2008 dengan nama LOUD, Sigmun diperkuat oleh vokalis dan gitaris Haikal Azizi, gitaris Nurachman Andhika, basis Mirfak Prabowo, dan drummer Risyad Tabattala.

Mereka menyebut aliran musik yang mereka bawakan dengan sebutan freud blues rock, dengan kata “freud” diambil dari pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi, Sigmund Freud, yang mempopulerkan teori alam bawah sadar sebagai pengendali sebagian besar perilaku. Setiap personel Sigmun percaya bahwa musik yang mereka hasilkan tercipta spontan dari pemikiran alam bahwa sadar mereka.

Perubahan nama dari LOUD ke Sigmun sendiri disebabkan oleh adanya band Inggris yang memiliki nama serupa dan terbentuk pada 1989, tahun yang sama dengan kelahiran mayoritas personel Sigmun.

Dalam pembuatan lagu “The Raid”, Sigmun mendapat bantuan dari Mooner dalam pembuatan dan eksekusi lagu. Mooner sendiri adalah moniker seorang musisi yang juga mereka anggap sebagai mentor.

Dan demi mengetahui lebih lanjut bagaimana Sigmun dapat turut serta mengisi soundtrack film laga fenomenal ini dan seperti apa proses pembuatan lagu “The Raid”, Rolling Stone pun mewawancarai keempat personel Sigmun melalui surat elektronik. Berikut hasilnya.

Bagaimana prosesnya sehingga bisa turut serta mengisi soundtrack The Raid?
Haikal: Sebenarnya yang pertama kali ditawarkan mengisi soundtrack The Raid itu The Sleeper of Isadora Guinna's Inheritance Treasure, band yang digawangi Mooner. Namun karena satu dan lain hal, mereka nggak bisa. Kebetulan waktu itu Mooner ingin mencoba membantu rekaman Sigmun, dan akhirnya proyek itu pun dilempar ke kami.

Siapa itu Mooner? Tugasnya hanya menyanyi atau turut menggubah lagu?
Haikal: Mooner itu fellow musician sekaligus mentor kami, dia tertarik dengan musik kami dan mau bantu rekaman untuk rilisan kami nantinya. Kalau untuk “The Raid”, malah dia yang awalnya buat lagu.

Memang disuruh membuat lagu tema atau inisiatif sendiri?
Risyad: Diminta sama pihak filmnya, dari awal mereka memang minta lagu tema.

Materi lama atau khusus buat baru demi film ini?
Mirfak: Materi khusus, tapi sebagian besar materi Mooner.
Haikal: Pihak film mengkomunikasikan lebih dulu inginnya lagu seperti apa. Kebetulan Mooner sudah punya lagu, lalu kami modifkasi lagi bareng-bareng. Liriknya juga kami kerjakan bareng-bareng.
Mirfak: Inginnya sih masukin materi sendiri sepenuhnya, tapi untuk menghormati pemberian Mooner ya sudah ikut saja.

Kalian satu-satunya band yang ada di soundtrack The Raid?
Nurachman: Kurang tahu, kami bahkan belum nonton juga, hahaha.

Biaya rekaman ditanggung pihak film atau sendiri?
Nurachman: Biaya rekaman dan mixing dibebankan ke perjanjian awal bayarannya berapa. Pihak film kasih berapa, lalu dipotong biaya untuk rekaman dan mixing.

Seberapa besar ikut campur pihak The Raid terhadap lagu ini?
Haikal: Mereka mengkomunikasikan inginnya seperti apa, memberikan referensi juga. Diolah bareng-bareng dan lalu direkam. Setiap tahap pengolahan selalu dirundingkan lagi dan ada feedback dari pihak film.

Ketika sudah diisi Mike Shinoda nanti, lagu kalian akan tetap ada di film atau di-replace?
Nurachman: Sepengetahuan kami sih, sampai saat ini akan tetap dipakai di The Raid rilisan Indonesia.
Mirfak: Sejauh yang kami tahu, versi Mike Shinoda itu hanya dipakai untuk rilisan Amerika Serikat. Kalau di-replace ya sudahlah, yang penting ada pemasukan.
Haikal: Iya, untuk di luar mungkin diganti dengan scoring Mike Shinoda. Tapi nggak tahu juga, karena komunikasi agak minim setelah rekaman beres dan materi jadi, who knows. Padahal kami siap jikalau harus nge-rap bareng Mike Shinoda.
Mirfak: Saya lebih suka Fred Durst dan Coolio.
Nurachman: Saya lebih suka Taylor Bow dan Jenni Lee. - Rolling Stone Indonesia


"Sigmun, Band Belia Potensial yang Menutup Film The Raid dengan Letupan"

Jakarta - Jika Anda sudah menyaksikan The Raid, film Indonesia kedua sutradara berdarah Wales, Gareth Evans, terdapat sebuah lagu rock beringas yang mulai diputar pada scene terakhir film tersebut dan lalu berlanjut mengiringi gulungan kredit penutup.

Seakan aksi pertarungan menegangkan yang tercecer di The Raid ditakutkan belum dapat memuaskan audiens, lagu berjudul “The Raid” ini diluncurkan guna membuat film yang bercerita soal penyergapan markas kriminal kelas kakap ini berakhir dengan letupan.

Adalah kuartet penyembah rock ala Led Zeppelin dan Black Sabbath bernama Sigmun yang bertanggung jawab atas lagu tema tersebut. Didirikan pertama kali pada 2008 dengan nama LOUD, Sigmun diperkuat oleh vokalis dan gitaris Haikal Azizi, gitaris Nurachman Andhika, basis Mirfak Prabowo, dan drummer Risyad Tabattala.

Mereka menyebut aliran musik yang mereka bawakan dengan sebutan freud blues rock, dengan kata “freud” diambil dari pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi, Sigmund Freud, yang mempopulerkan teori alam bawah sadar sebagai pengendali sebagian besar perilaku. Setiap personel Sigmun percaya bahwa musik yang mereka hasilkan tercipta spontan dari pemikiran alam bahwa sadar mereka.

Perubahan nama dari LOUD ke Sigmun sendiri disebabkan oleh adanya band Inggris yang memiliki nama serupa dan terbentuk pada 1989, tahun yang sama dengan kelahiran mayoritas personel Sigmun.

Dalam pembuatan lagu “The Raid”, Sigmun mendapat bantuan dari Mooner dalam pembuatan dan eksekusi lagu. Mooner sendiri adalah moniker seorang musisi yang juga mereka anggap sebagai mentor.

Dan demi mengetahui lebih lanjut bagaimana Sigmun dapat turut serta mengisi soundtrack film laga fenomenal ini dan seperti apa proses pembuatan lagu “The Raid”, Rolling Stone pun mewawancarai keempat personel Sigmun melalui surat elektronik. Berikut hasilnya.

Bagaimana prosesnya sehingga bisa turut serta mengisi soundtrack The Raid?
Haikal: Sebenarnya yang pertama kali ditawarkan mengisi soundtrack The Raid itu The Sleeper of Isadora Guinna's Inheritance Treasure, band yang digawangi Mooner. Namun karena satu dan lain hal, mereka nggak bisa. Kebetulan waktu itu Mooner ingin mencoba membantu rekaman Sigmun, dan akhirnya proyek itu pun dilempar ke kami.

Siapa itu Mooner? Tugasnya hanya menyanyi atau turut menggubah lagu?
Haikal: Mooner itu fellow musician sekaligus mentor kami, dia tertarik dengan musik kami dan mau bantu rekaman untuk rilisan kami nantinya. Kalau untuk “The Raid”, malah dia yang awalnya buat lagu.

Memang disuruh membuat lagu tema atau inisiatif sendiri?
Risyad: Diminta sama pihak filmnya, dari awal mereka memang minta lagu tema.

Materi lama atau khusus buat baru demi film ini?
Mirfak: Materi khusus, tapi sebagian besar materi Mooner.
Haikal: Pihak film mengkomunikasikan lebih dulu inginnya lagu seperti apa. Kebetulan Mooner sudah punya lagu, lalu kami modifkasi lagi bareng-bareng. Liriknya juga kami kerjakan bareng-bareng.
Mirfak: Inginnya sih masukin materi sendiri sepenuhnya, tapi untuk menghormati pemberian Mooner ya sudah ikut saja.

Kalian satu-satunya band yang ada di soundtrack The Raid?
Nurachman: Kurang tahu, kami bahkan belum nonton juga, hahaha.

Biaya rekaman ditanggung pihak film atau sendiri?
Nurachman: Biaya rekaman dan mixing dibebankan ke perjanjian awal bayarannya berapa. Pihak film kasih berapa, lalu dipotong biaya untuk rekaman dan mixing.

Seberapa besar ikut campur pihak The Raid terhadap lagu ini?
Haikal: Mereka mengkomunikasikan inginnya seperti apa, memberikan referensi juga. Diolah bareng-bareng dan lalu direkam. Setiap tahap pengolahan selalu dirundingkan lagi dan ada feedback dari pihak film.

Ketika sudah diisi Mike Shinoda nanti, lagu kalian akan tetap ada di film atau di-replace?
Nurachman: Sepengetahuan kami sih, sampai saat ini akan tetap dipakai di The Raid rilisan Indonesia.
Mirfak: Sejauh yang kami tahu, versi Mike Shinoda itu hanya dipakai untuk rilisan Amerika Serikat. Kalau di-replace ya sudahlah, yang penting ada pemasukan.
Haikal: Iya, untuk di luar mungkin diganti dengan scoring Mike Shinoda. Tapi nggak tahu juga, karena komunikasi agak minim setelah rekaman beres dan materi jadi, who knows. Padahal kami siap jikalau harus nge-rap bareng Mike Shinoda.
Mirfak: Saya lebih suka Fred Durst dan Coolio.
Nurachman: Saya lebih suka Taylor Bow dan Jenni Lee. - Rolling Stone Indonesia


"Golden Age Rock Takes a Seat on the Couch"

Sigmund Freud is taking over the local music scene in a big way — though not in a manner the psychology icon would have ever expected. Jakarta-based rock band Sigmun may owe its name to the thinker, but nothing in its classic-rock-infused catalogue would be considered cerebral by any means.

Owing more than a small debt to rock elders like Led Zeppelin and Blue Oyster Cult, the band’s instrumental histrionics harken back to the days when music “gods” such as Jimmy Page, Jimi Hendrix and Syd Barrett ruled the music universe. It’s primal, abrasive, gigantic-sounding and filled with enough instrumental interludes to call upon the spirits of dead hippie souls.

The band formed in Bandung in 2008 as “Loud,” a music project between four close friends: Haikal Azizi on shrieks and guitar, Nurachman Andhika also on guitar, bass player Mirfak Prabowo and Risyad Tabattala playing the part of Led Zep’ pounder John “The Beast” Bonham. Risyad was later replaced by Pratama Kusuma Putra, the band’s current drummer and resident joker.

From the get-go, it was obvious that Sigmun’s zeal for two bands in particular, Led Zeppelin and Black Sabbath, would be the driving force in its music; a stylistic touch that still continues to this day, though executed with far more originality and self-consciousness than one might expect. The psychedelic toppings a la Pink Floyd seem only natural.

“We all agreed that Led Zeppelin, Black Sabbath and Pink Floyd are gods. These three deities might be the base of our musical aesthetic, [but] we then compile them with our other influences,” Haikal explains.

Drummer Tama considers their old-school rock ’n’ roll heart a natural product of their upbringing. “I ultimately blame my father for that,” he jokes.

After discovering the existence of an English band from the ’80s also called “Loud,” the band immediately changed their moniker, saving themselves from a career of confusion. “Sigmun,” a conscious misspelling of Freud’s first name, was chosen as a tribute to who the band calls “a wicked neurologist.”

Mirfan says the name change was a purely trivial one, not at all affecting the band’s trademark grind.

“People started to ask, ‘What is it with Freud and your music? [Carl] Jung rules!’ But we’re not here as die-hard disciples of Freud. He’s not the basis of our ideas as a band,” Haikal says.

The band members describe their wall of reverberating old-school rock as “Bringing a high-gain amplifier and drums into a cave,” which is a very apt description of Sigmun’s cavernous-sounding rock.

Though they have yet to release any official recordings, a CD sampler with four tracks has been making the rounds, getting people’s attention.

The song titles “Land of the Living Dead” and “Red Blood Sea” are perfect examples of the band’s moody sound, the former sounding like a bastard son of Black Sabbath’s evil-sounding riffage and Led Zeppelin’s grandiosity, and the latter a crescendo-driven mid-tempo rocker straight out of Zeppelin’s “Houses of the Holy” dictionary.

“Valley of Dream” stirs up as much ’70s feel as a pair of bell-bottomed trousers with its psychedelic guitars and mesmerizing, ramshackle rhythms, with Haikal giving his best Robert Plant-esque, cocky delivery. Lyrically, the band dives into the campy fantasy aspect of psychedelic bands; describing the darker edges of the human imagination.

“We love the idea of exploring the concept of dreams and unconscious thoughts, and we tried to put it forth in our music and lyrics by including random and spontaneous stuff. Don’t really know if we’re doing it right, but we’re enjoying the process so far,” Haikal says.

Still, the “retro” tag bugs Sigmun, as they see themselves being firmly planted in the present, with only a dash of older sounds embedded within.

“We don’t go play our gigs wearing tight, kick-flare jeans, glittering shirts and fancy boots,” Haikal explains. “The ’70s might have influenced us big time, but it’s not our only influence. Nirvana, The White Stripes, [local band] Komunal, Sleep, Snoop Dogg, Kyuss and many other non-’70s acts have influenced us as much as Zeppelin and Sabbath did. So we wouldn’t consider ourselves retro. We consider ourselves dandy, heavy, funky and loveable.”

“I’m only retro when my phone battery runs out,” Tama cracks.

The band members are gathering steam with the sampler’s underground popularity, and are eager to release something more official.

“We love the idea of becoming a band with a ’70s sound, but we’re not going to let that idea be a barrier for us in achieving new sounds,” Haikal says.

For more information about Sigmun, visit www.sigmun.wordpress.com - The Jakarta Globe


"Golden Age Rock Takes a Seat on the Couch"

Sigmund Freud is taking over the local music scene in a big way — though not in a manner the psychology icon would have ever expected. Jakarta-based rock band Sigmun may owe its name to the thinker, but nothing in its classic-rock-infused catalogue would be considered cerebral by any means.

Owing more than a small debt to rock elders like Led Zeppelin and Blue Oyster Cult, the band’s instrumental histrionics harken back to the days when music “gods” such as Jimmy Page, Jimi Hendrix and Syd Barrett ruled the music universe. It’s primal, abrasive, gigantic-sounding and filled with enough instrumental interludes to call upon the spirits of dead hippie souls.

The band formed in Bandung in 2008 as “Loud,” a music project between four close friends: Haikal Azizi on shrieks and guitar, Nurachman Andhika also on guitar, bass player Mirfak Prabowo and Risyad Tabattala playing the part of Led Zep’ pounder John “The Beast” Bonham. Risyad was later replaced by Pratama Kusuma Putra, the band’s current drummer and resident joker.

From the get-go, it was obvious that Sigmun’s zeal for two bands in particular, Led Zeppelin and Black Sabbath, would be the driving force in its music; a stylistic touch that still continues to this day, though executed with far more originality and self-consciousness than one might expect. The psychedelic toppings a la Pink Floyd seem only natural.

“We all agreed that Led Zeppelin, Black Sabbath and Pink Floyd are gods. These three deities might be the base of our musical aesthetic, [but] we then compile them with our other influences,” Haikal explains.

Drummer Tama considers their old-school rock ’n’ roll heart a natural product of their upbringing. “I ultimately blame my father for that,” he jokes.

After discovering the existence of an English band from the ’80s also called “Loud,” the band immediately changed their moniker, saving themselves from a career of confusion. “Sigmun,” a conscious misspelling of Freud’s first name, was chosen as a tribute to who the band calls “a wicked neurologist.”

Mirfan says the name change was a purely trivial one, not at all affecting the band’s trademark grind.

“People started to ask, ‘What is it with Freud and your music? [Carl] Jung rules!’ But we’re not here as die-hard disciples of Freud. He’s not the basis of our ideas as a band,” Haikal says.

The band members describe their wall of reverberating old-school rock as “Bringing a high-gain amplifier and drums into a cave,” which is a very apt description of Sigmun’s cavernous-sounding rock.

Though they have yet to release any official recordings, a CD sampler with four tracks has been making the rounds, getting people’s attention.

The song titles “Land of the Living Dead” and “Red Blood Sea” are perfect examples of the band’s moody sound, the former sounding like a bastard son of Black Sabbath’s evil-sounding riffage and Led Zeppelin’s grandiosity, and the latter a crescendo-driven mid-tempo rocker straight out of Zeppelin’s “Houses of the Holy” dictionary.

“Valley of Dream” stirs up as much ’70s feel as a pair of bell-bottomed trousers with its psychedelic guitars and mesmerizing, ramshackle rhythms, with Haikal giving his best Robert Plant-esque, cocky delivery. Lyrically, the band dives into the campy fantasy aspect of psychedelic bands; describing the darker edges of the human imagination.

“We love the idea of exploring the concept of dreams and unconscious thoughts, and we tried to put it forth in our music and lyrics by including random and spontaneous stuff. Don’t really know if we’re doing it right, but we’re enjoying the process so far,” Haikal says.

Still, the “retro” tag bugs Sigmun, as they see themselves being firmly planted in the present, with only a dash of older sounds embedded within.

“We don’t go play our gigs wearing tight, kick-flare jeans, glittering shirts and fancy boots,” Haikal explains. “The ’70s might have influenced us big time, but it’s not our only influence. Nirvana, The White Stripes, [local band] Komunal, Sleep, Snoop Dogg, Kyuss and many other non-’70s acts have influenced us as much as Zeppelin and Sabbath did. So we wouldn’t consider ourselves retro. We consider ourselves dandy, heavy, funky and loveable.”

“I’m only retro when my phone battery runs out,” Tama cracks.

The band members are gathering steam with the sampler’s underground popularity, and are eager to release something more official.

“We love the idea of becoming a band with a ’70s sound, but we’re not going to let that idea be a barrier for us in achieving new sounds,” Haikal says.

For more information about Sigmun, visit www.sigmun.wordpress.com - The Jakarta Globe


Discography

"Sampler/Demo"
(self-release, 2011)

Format : digital download, CD
Track listings :
- "Valley of Dream"
- "Bones"
_______________________________________________

"Land of the Living Dead"
(self release, 2011)

Format : digital download, CD
Track listings :
- "Land of the Living Dead"
- "Red Blood Sea"
_____________________________________________

"The Raid" Original Sound Track (Indonesian Release)
(Merantau Films, 2012)

Song title : "The Raid"
Producer : Rekti Yoewono (of The S.I.G.I.T.)
Engineer : Agus Mawardi

_____________________________________________

"Suri//Sigmun//Jelaga" Three-Way Split Album
(Orange Cliff Records, 2012)

Format : 12" vinyl
Track Listings :
- Jelaga - "Red Sky"
- Suri - "Syubuh"
- Suri - "Policy"
- Suri - "Nausea"
- Sigmun - "The Long Haul"
- Jelaga - "War Song"
___________________________________________

"Cerebro (EP)"
(Yes No Wave Music / The Bronze Medal Records / Orange Cliff Records, 2013)

Format : digital download, CD, 12" lathed vinyl
Track listings :
- "Cerebro"
- "The Long Haul"
- "Ring of Saturn"
- "Atom Heart Father"
- "The Long Haul (long version)", bonus track on 12" vinyl
____________________________________________

"Aerial Chateau (single)"
(Orange Cliff Records, 2013)

Format : digital download, 8" lathed vinyl
Track listings :
- "Aerial Chateau" (Side A)
- "Ring of Saturn" (Side B)
____________________________________________

"Extended Play MMXII [Sampler/EP, Malaysian Re-Release]"
(Cactus Records Malaysia, 2013)

Format : CD
Track listings :
- "Land of the Living Dead"
- "Bones"
- "Valley of Dream"
- "Red Blood Sea"
- "Aerial Chateau"

____________________________________________

"Crimson Eyes" debut LP 
(Orange Cliff Records, 2015)

Format : CD, Cassettes, 8Track tape
Track listings :
1. "In the Horizon"
2. "Vultures"
3. "Devil in Disguise"
4. "Halfglass Full of Poison"
5. "The Summoning"

6. "The Gravestones"

7. "Prayer of Tempest"

8. "Inner Sanctum"

9. "Golden Tangerine"

10. "Aerial Chateau"

11. "Ozymandias"




Photos

Bio

Sigmun is an Indonesian rock band formed in April 2011 that consists of Haikal Azizi (vocal/guitar), Nurachman Andika (guitar), Mirfak Prabowo (bass) and Pratama Kusuma Putra (drums) mainly influenced by the two founding fathers of heavy metal, the almighty Led Zeppelin and the god of heavy riffs, Black Sabbath.

They mentioned their music as Freud Blues Rock, the word ”Freud” comes from the infamous neurologist, Sigmund Freud, whom they admired so much for his unconscious mind and the defense mechanism theory. They believe that the music they make are coming spontaneously from their unconscious mind.

Referring to their influences, most of their songs are based on riffs covered with distortion and overflowing echoes. They describe their sound as "bringing a high gain amplifier and drums into a cave". The basslines are almost progressive but raw and primitive at the same time, the drumming moves fierce and violent on high tempo and in a sudden could turn calm into a drowning bluesy beats, while the vocals sounded like chants and moans, obviously affected by Plant and Ozzy.

While they altogether religiously worshipped the Zeps and the Sabbaths, each member also have their own musical background. Mirfak has always been a fan of the grunge god Nirvana, the high-speed aggression of Motorhead and anything masculine, while Jono is a heavy metal geek who embrace the holy father Dio, Iron Maiden and the uncanny Uriah Heep.
Haikal adores the psychedelic echoes and progressions of Pink Floyd, the complexions of Robert Fripp and the zestful spirit of Jack White’s screech, Tama on the other hand has always been a disciple of Brad Wilk, and praises the likes of Sunn O))) and YOB.

Their interest in Sigmund Freud concepts of unconscious mind and their love for the whimsical world of surrealism are evidently showing in their lyrics. Enjoying the exploration of absurdism and juxtaposition in their writings, Dali, Magritte and Chirico might have influenced them as much as Page and Iommi did, paintings made out of hazy poetry and heavy echoed chords.